Di usia yang sudah tidak muda lagi, rasanya banyak sudah kisah Ramadan saya lalui. Terutama Ramadan masa kecil, yang setiap detil kejadian tak mungkin saya lupakan. Mengingat Ramadan di kampung, tak ubahnya melakukan kilas balik masa silam.
Kemudian di benak bermunculan sketsa sketa lucu, Â tetapi sekaligus menerbitkan haru. Mengingatkan pada nama nama lama tak bersua, sebagian nama sudah meninggalkan alam fana. Ramadan di kampung, membekaskan kasih sayang ayah ibu sekaligus pembelajaran berpuasa.
Saya yakin kisah kanak-kanak serupa ada di mana-mana, kemungkinan besar dialami banyak anak-anak pada umumnya. Misalnya di siang bolong ada yang (sengaja) membatalkan puasa, tapi pura-pura puasa dan ikut heboh saat berbuka-- saya pernah, hehehe. Setelah bangun dari tidur siang, tanpa sadar menenguk segelas minuman-- ini rejeki namanya.
Belum lagi ada isu di kalangan anak-anak, bahwa nangis menjadi penyebab batalnya puasa. Isu ini benar-benar membuat saya mati kutu, sehingga kakak saya puas godain bungsunya. Dan saya dibuat berusaha keras, menahan air mata agar tidak keluar
"Hayo, jangan mewek. Batal puasamu" ledek kakak
Saat mengalami kejadian ini, rasanya kesel banget. Dan saat mengingatnya sekarang, yang ada saya tersenyum-senyum sendiri.
Nostalgia Ramadan Masa Kecil dari Subuh hingga Taraweh
Saya yakin Kompasianer sepakat, bahwa masa kecil adalah masa yang paling indah. Pasalnya dunia ini isinya hanya  bermain, belum ada tanggung jawab dan belum merasakan beratnya beban hidup. Ada ayah dan ibu diandalkan, selalu turun tangan ketika buah hati terkena masalah.
Makanya puasa saat anak-anak, tak jarang meninggalkan banyak kisah unik. Saya punya segudang cerita, dan beberapa saya cuplikan sembari bernostalgia.
Jalan- jalan Subuh
Subuh di hari Ramadan berbeda dengan subuh di hari biasa, kami anak-anak sangat bersemangat. Sebelum waktu imsak tiba, kami geng anak-anak SD berkumpul. Berjalan menyusuri jalanan desa, menikmati udara pagi sembari bercanda khas anak-anak.
Di tengah jalan biasanya bertemu kelompok lain, saling melontarkan candaan atau ejekan ringan. Melewati depan pasar, sekolah, puskesmas, kantor kecamatan, kantor KUA, dan setelah terdengan adzan baru kami menuju masjid.
Selesai sholat subuh dan kuliah subuh, kegiatan jalan-jalan dilanjutkan biasanya tidak seramai sebelum subuh. Mengingat langit mulai terang, sebagian kami diwanti wanti segera pulang. Saya sesekali diminta membantu ibu ke pasar, membuka warung dan menata dagangan. Teman lain ada yang membantu ayahnya ke ladang, ada yang membantu pekerjaan di rumah dan lain sebagainya.
Bikin Kemah- kemahan
Siang di desa saya, kalau musim kemarau cukup panas. Bagi anak-anak yang puasa, cuaca demikian adalah ujian yang berat. Untuk mengalihkan panas dan haus, saya pernah tidur tengkurap tanpa baju di atas lantai. Lantai terbuat dari bahan semen, lumayan mengalirkan sensasi dingin ke tubuh.
Atau kalau sedang berkumpul bersama teman, kami mencari permainan atau kesibukan guna mengalihkan perhatian. Yaitu pergi ke kebun (milik orang tua salah satu dari kami), pepohonan rimbun yang tumbuh membuat kepala ngadem.
Di kebun kami berkegiatan apa saja. Satu diantaranya adalah membuat kemah, dengan memanfaatkan kayu, pohon, batang dan dedaunan yang tersedia di kebun. Jangan membayangkan kemah seperti tenda pramuka ya, lebih seperti gubug-gubugan seadanya.
Dan ada kejadian kucu tak bakal saya lupakan, ketika kami menjadikan batang pohon jeruk sebagai tiang kemah. Setelah kemah berdiri dan dua teman kecil rebahan ngobrol, melihat langit langit tampak berhelantungan (beberapa) buah jeruk.
"ono jeruk , ayo dipetik" teman yang kakak kelas dan badannya jangkung. Cukup dengan sekali lompat, jeruk bisa diraih dengan tangan. Tanpa pikir panjang langsung dikupas dan dimakan, baru masuk mulut kami langsung sadar.
"eh, lali kita kan puasa" sontak kami ingat -- hehehe.Â
Otomatis semua yang masuk dimulut dikeluarkan, kami bergegas ke sumber air dan berkumur sejadi jadinya biar tidak batal puasanya. Bagi kami batal puasa (dan ketahuan) adalah aib.
Setelah Ashar
Seingat saya, semasa kecil di kampung saya tidak ada istilah ngabuburit. Kalaupun ada yang berjualan, memang setiap hari orang yang sama berjualan makanan. Para ibu yang biasanya berkreasi sendiri, entah membuat kolak, bubur sumsum, es campur, es tape atau apapun makanan menyegarkan.
Ibu di rumah tak mau ketinggalan, mempersembahkan olahan untuk berbuka untuk keluarga. Karena di rumah kami tidak punya kulkas, ayah mengajak anaknya (seringnya saya) membeli es batu. Dengan motor buntut dipunyai, setalah ashar menuju rumah warga yang menjual es batu.
Kala itu belum banyak orang punya lemari es, satu desa hanya beberapa orang dan tak genap jari di satu tangan menghitung. Pernah saya diajak ayah, membeli es batu ke rumah warga di desa tetangga. Agar tidak buru-buru sampai, biasanya ayah mengulur waktu dengan memutar jalan.
Ah, senengnya mengingat masa itu. Saya begitu menikmati jalan-jalan sore, melintasi sawah dan ladang. Jauh setelah dewasa, saya merasakan betapa sayangnya ayah. Orangtua meski dalam keterbatasan, selalu punya naluri menyenangkan buah hati.
Setengah jam sebelum bedug maghrib, biasanya kami sudah tiba. Kemudian saat berbuka puasa, ada perasaan puas. Ketika melihat es batu dinikmati satu rumah, dan itu es batu saya yang membelinya -- hehehehe.
Sholat Taraweh
Motivasi saya atau kami --anak-anak-- Â bergegas ke masjid menjelang isya, sebenarnya bukan (semata-mata) karena hendak sholat taraweh. Tetapi sebagai syarat, mendapatkan tanda tangan imam dan khatib. Tugas spesial Ramadan dari guru di sekolah, kemudian hari saya tahu dialami anak-anak di banyak tempat.
Maka tak heran, saat sholat taraweh dan khutbah berlangsung. Banyak diantara kami justru bermain, sama sekali tidak focus kepada ibadahnya. Toh diutamakan kedatangan bukan ibadahnya, begitu kira kira isi pikiran saya.
Saya sendiri tak habis akal, karena salah satu imam bertetangga (persis depan depanan rumah). Maka saya nyamperin ke rumah, dan tanda tangan dirapel selama (misal) seminggu. Jadi tidak bakal ketahuan, hari apa saya absen tidak ke masjid -- hehehehe.
----
Kalau mau dikisahkan satu persatu, sebenarnya masih banyak. Tetapi untuk mengingatnya secara terinci, saya bakalan membutuhkan waktu khusus. Beberapa yang sudah saya tuliskan, setidaknya mewakili kejadian yang cukup sering saya lakukan kala itu.
Seperti disampaikan di awal, bahwa mengenang kejadian lalu lazimnya akan memunculkan nama-nama lama. Maka sembari mengingat kebaikan nama- nama tersebut, terkhusus yang sudah tiada saya kirimkan doa.
Terima kasih Kompasiana, untuk ruang bernostalgianya.Â
Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI