Ramadan tahun lalu, adalah kali pertama kita melaluinya dalam kondisi pandemi. Sholat taraweh berjamaah di masjid ditiadakan, pun sholat Jumat diadakan sendiri-sendiri di rumah. Â Mengingat suasana Ramadan tahun lalu, duh, rasa sedihnya masih nyesek di dada.
Pada keadaan demikian kita tak punya pilihan, terutama para ayah (mau tak mau) "dipaksa" menjadi imam sholat. Ujian kepemimpinan saya rasakan pada titik ini, bahwa saya diamanahi sebagai qowam dalam arti sebenarnya.
Bagi ayah  yang terbiasa menjadi imam sholat, tugas ini tentunya bukan masalah besar. Tetapi ayah yang jarang atau belum pernah menjadi imam, tugas ini bukanlah tugas yang ringan -  termasuk saya, hehehe--.
Berada pada kondisi demikian saya dibuat menyesal, mengapa dulu malas-malasan belajar menngaji. Sebenarnya saya bisa ngaji -- baca kitab Quran--dari SD, tapi membaca hanya sekedar membaca saja. Alias bisa baca huruf hijaiyah, tanpa paham aturan (membaca huruf arab) secara mendalam.
Misalnya kapan suatu huruf musti dibaca panjang atau dibaca pendek, misalnya lagi ketika bertemu tanda baca tertentu musti berapa kali ketukan huruf tertentu didengungkan. Saya sangat tidak paham hal ini, dan bener-bener dibuat menyesal.
Bukan hanya soal aturan bacaan, hapalan surat- surat pendek saya hanya sedikit -- parah kan. Â Maka jangan kaget Kompasianer, bacaan surat-surat pendek saat saya jadi imam muter saja. Sebagian besar adalah surat favorit sejagad, semisal Al Ikhlas, An Nas, Al falaq, Al lahab, Al Kausar, Al Asr, Quraisy, Al Maun firun, dan surat sejenisnya.
Mau sholat fardhu yang lima kali sehari, mau sholat taraweh sepanjang malam Ramadan, sholat duha, sholat tahajud, bacaan surat pendek berputar dari itu ke itu. Coba-coba menghapalkan surat lebih panjang, susahnya minta ampun dan kerap ketukar bacaan---hadeuh.
Beruntung, anak lanang yang kala itu sedang SFH (Study From Home) tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia punya bacaan lebih bagus dan hapalan surat-surat pendek lebih banyak. Di usia yang masuk usia baligh, menurut aturan sudah diperbolehkan menjadi imam.
Maka tugas si ayah (sebagai imam) tidak dipikul sendirian, setidaknya ada anak yang bisa bergantian dan siap membantu. Kesempatan belajar tidak saya sia-siakan, kerap bertanya aturan bacaan yang saya masih awam.
-------
Alhamdulillah, Ramadan tahun ini disampaikan juga. Kalau mengingat pandemi yang belum pergi, saya benar-benar berada pada titik pasrah. Apalagi melihat beberapa teman, sahabat, kerabat, saudara bertumbangan karena wabah. Ada yang masih muda, ada yang sepantaran, atau sudah sepuh. Nama-nama itu bergantian berpulang, selebihnya hanya menyisakan kenangan.