Dan untuk segala padatnya kegiatan tersebut, ritual ibadah wajib menjadi (sengaja atau tidak) terlewatkan atau dilewatkan.
Kini telah marak dilakukan adalah bekerja dan belajar dari rumah, maka kalau ibadah (di awal waktu) tetap abai alangkah meruginya. Saya sering mendapat email event virtual (IG Live, Webinar), tanpa perlu beranjak keluar rumah.
Dalam keleluasaan itu, saya memanfaatkan waktu untuk belajar banyak hal. Melalui konten video inspiratif, ditayangkan beberapa chanel youtube pilihan. Obrolan seputar keayahan tentunya menarik perhatian, selaras dengan peran saya di keseharian.
Ayah semestinya menjadi orang pertama berdiri di depan, meraup segala pedih dan perih. Orang yang selalu berani pasang badan, ketika istri dan anak-anak dalam ketakutan. Ayah orang terakhir kenyang, ketika di meja makan terhidang sajian.
Saya dibuat terkesima dengan kalimat, "(bagi ayah) berkorban itu (seharusnya) bukan sesuatu yang menyakitkan" Untuk mencerna kalimat ini saya butuh waktu, karena ego ini dibuat seperti diantara timbul dan tenggelam.
Pengorbanan secara kasat mata memang tak mengenakkan, tetapi proses tersebut (berkorban) memang dibutuhkan.
Saya adi teringat (alm) ayah, lelaki sederhana seorang guru Sekolah Dasar di daerah pelosok. Kemampuan keuangan tak seberapa, tetapi menyoal pengorbanan tak bisa saya bantah. Ayah (dan ibu) dengan kemampuan terbatas, melampaui segala jerih payah tanpa mengeluh.
Serangkaian pengorbanan tersebut, berujung pada legacy tentang kegigihan kepada kami anak-anaknya. Dan saya belajar menjadi ayah yang baik, salah satunya dari keteladanan ayah.
Setelah perjalanan jatuh bangun sebagai individu atau sebagai ayah saya alami, saya bersepakat bahwa berkorban itu semestinya bukan sesuatu yang menyakitkan.
Semoga bermanfaat.