Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bahayanya Perut Kenyang

13 Maret 2021   08:21 Diperbarui: 13 Maret 2021   11:13 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadan (ibarat kata) tinggal selemparan kerikil, belakangan suasananya mulai dirasakan. Di beranda media sosial saya mulai bermunculan iklan terkait puasa, seperti kurma, baju muslim, jilbab, mukena, peci, sajadah dan lain sebagainya.

Cuplikan kajian menjelang Ramadan juga wira-wiri di instagram, tema disajikan related dengan bahasan seputar ibadah puasa. Saya kerap dibuat penasaran, apalagi kalau pematerinya ustad tawadhu dengan keilmuan yang luas.

Secara pribadi saya merasa, bahwa Ramadan tahun ini bakal lebih istimewa. Mengingat bulan suci satu setengah bulan lagi, menjadi kali kedua dijalani di tengah wabah pandemi. Kalau tahun lalu masih terkaget-kaget, bisa jadi sekarang kita sudah bisa beradaptasi.

Tak ada kegiatan ngabuburit, sholat taraweh dikerjakan rumah, tadarus bareng istri dan anak, gantian menjadi imam dengan jagoan yang sudah perjaka.

Menyoal puasa erat kaitannya dengan menahan hawa nafsu. Hal kasat mata adalah menahan nafsu makan dan minum, disamping nafsu yang lain misalnya amarah, berhubungan suami istri di siang hari, lapar mata dan lain sebagainya. Dan terkhusus soal makan minum, menjadi materi menarik di beberapa kajian online.

Pasalnya sebagian kita ada mengalami kejadian unik, selepas bulan puasa justru berat tubuhnya mengalami peningkatan. Berarti ada yang salah ini.

Menyimak aneka materi kajian, saya tersadarkan betapa urusan orang mukmin itu luar biasa. Sampai urusan piring, setelah ditelisik ada kaitan dengan syariat. Yang kalau dijalankan dengan benar, memiliki dampak baik bagi pelakunya.

Ada satu chanel youtube, membuat saya berhenti ngepoin channel lain. Pematerinya adalah Ustad Budi Ashari lc, seorang pakar sejarah Islam yang ilmunya Subhanalloh keren. Saya termasuk telat mengenal beliau, makanya saya memutar ulang konten-konten beliau terdahulu.

Dan menyoal tema makanan sang ustad tidak tampil sendiri, tetapi didampingi seorang dokter yang juga ustad yaitu dokter Zaidul Akbar.

tangkapan layar- dokpri
tangkapan layar- dokpri
Saya dibuat tercengang, ketika mendengar kebiasaan Nabi dan para sahabat yang tidak pernah kenyang. Makan secukupnya saja menerapkan tujuan makan adalah memenuhi hak tubuh, agar badan sehat sehingga bisa menunaikan tugas kehidupan-- sesimpel itu gaes.

Bahayanya Perut Kenyang 

"Gue tuh heran, kalau kenyang ngantuk giliran perut laper jadinya bego" canda seorang teman

Kompasianer, beberapa kali saya pernah mendengar guyonan seperti tersbeut di atas. Si pelontar bercandaan teman yang sudah kenal baik, bertujuan menyegarkan suasana. Kali pertama mendengar saya langsung Gerrr, meskipun pada kenyataannya kejadian juga -- hehehe. Teman ini beberapa kali kedapatan tidur saat hadir di sebuah acara.

dokpri
dokpri
Saya masih sangat jauh dari ideal, menerapkan pola makan ala Nabi atau sahabat mulia. Makan tak menunggu perut lapar, berhenti kalau sudah lambung bega menampung asupan. Bobot saya pernah dikisaran satu kwintal, bener-bener kayak karung berjalan---hehehe.

Maka menyimak penjelasan dokter Zaidul saya seperti dibukakan mata hati, betapa orang soleh sangat berbeda menyikapi soal makan. Makannya orang soleh untuk menegakan tulang sulbi, agar bisa tegak dan khusyu beribadah, mengabdikan diri kepada Rabbnya.

Kemudian Ustad Budi menimpali, dengan kalimat pernah disampaikan Imam Al Mundziri "bahwa musibah pertama setelah Nabi tiada adalah kenyang, kalau satu masyarakat (ke)kenyang(an) maka yang terjadi adalah gemuk badannya. Dan kegemukan menyebabkan lemah hatinya (keras/tidak lembut hati) dan kalau lemah si panglima (hati) maka syahwatnya tidak terkendali".

Kemudian sang dokter menambahkan, bahwa konsep makan sejatinya untuk memenuhi hak tubuh (sehat), maka makan diasup musti halal dan toyib. Tetapi ingat bahwa sebaik makanan kalau berlebihan (rakus) akan menjadi tidak baik, justru menyebabkan datangnya penyakit.

Saya seperti diajak balik ke kejadian lima tahun silam, akibat kegemukan tubuh ini jatuh sakit dan kepayahan. Saya benar-benar dibuat kapok tak mau mengulangi lagi. Dan terus belajar konsisten, menerapkan makan seperlunya saja.

Namanya manusia biasa sesekali kenyang mungkin dimaklumi, tapi kalau keseringan (ke)kenyang(an) itu yang bahaya.

Salam sehat selalu Kompasianer- semoga bermanfaat.

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun