Kompasianer, beberapa kali saya pernah mendengar guyonan seperti tersbeut di atas. Si pelontar bercandaan teman yang sudah kenal baik, bertujuan menyegarkan suasana. Kali pertama mendengar saya langsung Gerrr, meskipun pada kenyataannya kejadian juga -- hehehe. Teman ini beberapa kali kedapatan tidur saat hadir di sebuah acara.
Maka menyimak penjelasan dokter Zaidul saya seperti dibukakan mata hati, betapa orang soleh sangat berbeda menyikapi soal makan. Makannya orang soleh untuk menegakan tulang sulbi, agar bisa tegak dan khusyu beribadah, mengabdikan diri kepada Rabbnya.
Kemudian Ustad Budi menimpali, dengan kalimat pernah disampaikan Imam Al Mundziri "bahwa musibah pertama setelah Nabi tiada adalah kenyang, kalau satu masyarakat (ke)kenyang(an) maka yang terjadi adalah gemuk badannya. Dan kegemukan menyebabkan lemah hatinya (keras/tidak lembut hati) dan kalau lemah si panglima (hati) maka syahwatnya tidak terkendali".
Kemudian sang dokter menambahkan, bahwa konsep makan sejatinya untuk memenuhi hak tubuh (sehat), maka makan diasup musti halal dan toyib. Tetapi ingat bahwa sebaik makanan kalau berlebihan (rakus) akan menjadi tidak baik, justru menyebabkan datangnya penyakit.
Saya seperti diajak balik ke kejadian lima tahun silam, akibat kegemukan tubuh ini jatuh sakit dan kepayahan. Saya benar-benar dibuat kapok tak mau mengulangi lagi. Dan terus belajar konsisten, menerapkan makan seperlunya saja.
Namanya manusia biasa sesekali kenyang mungkin dimaklumi, tapi kalau keseringan (ke)kenyang(an) itu yang bahaya.
Salam sehat selalu Kompasianer- semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H