Bagi saya, hiruk pikuk yang terjadi di sekeliling kita baru baru ini.
Sebenarnya, justru membuat hidup menjadi dinamis.
Penanda manusia masih berada di tempatnya, yaitu "senengane ngeyelan lan angel kandanane" (sukanya ngeyel dan susah dibilangin).
Hal demikian sudah ada contohnya di awal kehidupan, pada anak-anak Nabi Adam dan Siti Hawa.
Saudara sekandung Habil dan Qobil, keculasan dan iri dengki Qobil menyebabkan terjadi pembunuhan pertama di bumi ini.
Dan kita umat akhir jaman, seolah mengulang kejadian nenek moyang.
Saya sempat dibuat tersenyum, ketika ada tweet selintasan lewat di beranda medsos.
Cuitan dari satu akun yang diquote, isinya adalah sebuah per-andai-an. Kemudian direply akun lain, mendapat tanggapan lain sehingga jadi ramai.
Lebih kurang begini
"Coba ya, Nabi Adam nggak nurut sama rayuan Hawa, kita semua sekarang ada di Surga"
(balasan akun lain tak kalah unik)
"Kalau dari awal kita sudah di Surga, mungkin nikmatnya surga ya biasa saja. Pasalnya tidak bisa membandingkan, karena tidak pernah merasakan suasana carut marut dunia"
(reply dukungan comment kedua)
Kalau Adam nggak tergoda Hawa, cerita kehidupan bakalan lain. Dunia ini belum tentu ada, apalagi handphone apalagi medsos"
Lumayan bikin segar timeline, setelah tweet yang berisi gontok-gontokan.
-----
Kali pertama kita membuka mata di dunia ini, setiap orang dibekali ego atau hawa nafsu.
Ego inilah yang menjadi muasal, dunia menjadi penuh keriuhan dan gejolak.
Menciptakan kompetisi antar manusia, menciptakan percikan percikan intrik.
Kilatan emosi berseliweran, keributan timbul di sana-sini, perebutan kepentingan tidak ada selesainya.
Akhirnya dunia menjadi seperti sekarang, sehingga hidup terasa semarak dan menjadi penuh warna.
Manusia ditantang mengatasi persoalan, berlomba-lomba mengisi kehidupan dengan caranya.
Satu dengan yang lain seide sepemikiran, berjalan beiringan tanpa membesarkan perbedaan pendappat dan minim berselisih paham.
Kok saya yakin, dunia ini mungkin akan menjadi kering dan sepi.
Bisa jadi setiap orang dilanda kebosanan, karena hari ke hari tidak ada tantangan ditaklukkan, tiada gejolak harus diredam.
----
Kengeyelan setiap orang adalah keharusan, untuk mempertahankan dirinya untuk mempertahankan haknya.
Semestinya dianggap sebagai kewajaran, dan memang begitu adanya.
Orang yang ngeyel ada beberapa sebab, bisa jadi karena terbatasnya memahami satu persoalan.
Sehingga salah mengekspresikan, sehingga salah menginteprestasikan.
Diselenggarakan kehidupan ini, agar manusia berproses mengelola kengeyelan.
Sehingga ngeyelnya jelas, dan memiliki landasan yang benar dan kuat.
Orang dengan kengeyelan yang tidak berlebihan, lazimnya akan menjadi manusia lebih arif.
Orang yang hati dan pikirannya terbuka, cenderung bisa menahan keegoisan diri.
Orang seperti demikian biasanya cepat beradaptasai, mumpuni menghadapi permasalahan yang ada di sekitar.
Meskipun tetap saja, kodrat kengeyelan itu tidak bisa dihapuskan.
Karena dari sononya, kita semua suka ngeyelan.
Sementara yang membedakan, adalah kadar kengeyelan itu.
Happy Week end - Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H