Kompasianer pasti sepakat, bahwa sifat dasar manusia adalah senang pada kebaikan.Â
Coba saja perhatikan akun medsos, yang memasang konten mengharukan biasanya punya engagement tinggi.
Misalnya konten menampilkan anak kecil berjualan makanan, ditambah caption bahwa si adek adalah tulang punggung keluarganya.
Atau video nenek renta duduk di piggir jalan, kedapatan berjualan jantung pisang demi sesuap nasi dan untuk mengobati adiknya.
Beberapa akun yang mengunggah video atau berita semacam ini, saya amati mendapat like dan comment ribuan dalam sekejap.
Kebanyakan komentar berisi doa, semoga si adik kecil atau nenek sehat wal'afiat. Ada netizen berharap, mereka dipertemukan donatur dan dilapangkan rejeki.
Masalah pengomentar atau pemberi like, ikut turun tangan membantu orang didoakan itu persoalan lain.
-----
Fitrah setiap manusia adalah suci, Â kondisi ini didapati saat bersemayam di alam ruh.Â
Begitu dilahirkan ke alam fana, mulai memerlukan ini dan itu. Seiring berjalan waktu, si bayi beranjak besar kemudian dewasa.
Mulailah muncul kebutuhan keseharian, dipengaruhi gaya hidup dan pergaulan yang melingkupi.
Akhirnya orang menemukan focus, mengejar cita-cita yang ditambatkan agar seperti orang dijadikan acuan.
Kompasianer mungkin pernah membaca buku biografi, tokoh ternama yang berasal dari keluarga miskin.Â
Dan di kemudian hari, tokoh ini bisa memiliki harta benda (rumah, mobil, tanah dan sebagainya) bukti keberhasilan.
Mungkin ada juga di sekeliling kita, orang yang kita kenal dulunya jatuh terpuruk.
Kemudian bisa bangkit, sehingga mencapai karir cemerlang menduduki jabatan idaman kebanyakan orang.Â
Atau ada orang miskin papa, berhasil meraih ketenaran, memiliki pengaruh dan personal branding yang kuat.
Semua kemungkinan sangat bisa terjadi, karena dunia ini ibarat permainan.
Manusia dibekali akal dan nafsu akan dunia, tugas setiap individu untuk belajar mengelola.
Kita Semua Senang Akan Kebaikan Meskipun Enggan Melakukan
Di Kompasiana, dua tahun belakangan saya menggawangi Ketapels.Â
Komunitas berbasis domisili, yang mewadahi Kompasianer yang tinggal di Tangsel dan sekitarnya.
Sepanjang pandemi (mulai awal maret), Ketapels memperbanyak kegiatan online.
Kami admin tertantang berkreasi, membuat IG Live, Lomba Blog, membuat Vlog untuk event Obrolan Komunitas.Â
Seminggu sekali di bulan September, kami membuat Giveaway bareng UMKM.
Bagi kami (tiga admin), Ketapels ibarat menjadi "jalan ninja". Sesuai tagline Ketapels, maka komunitas ini menjadi jalan untuk berbagi inspirasi, kebaikan dan kemanfaatan.
Meski untuk menjalankan cita-cita tersebut, jujur saja tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Menyoal berbagi, Ketapels berusaha konsisten dengan kegiatan yang diberi tagar #KetapelsBerbagi.
Per bulan februari 2020, Â ada kegiatan berbagi nasi bungkus di daerah Pamulang.
Meski sempat skip di bulan Juni, tetapi bulan Juli bisa berlanjut sampai sekarang.
Pernah hanya membagikan lima bungkus, pernah tujuh bungkus bahkan pernah 15 bungkus.
Pada bulan juni kami membuat donasi sabun cuci cair, dengan mendatangi tempat ibadah lintas agama dan menyerahkan (hanya) dua botol.
Pada bulan agustus Ketapels mengunjungi Panti Asuhan di Ciputat, dan akhir pekan ini rencana ke Pondok lansia di BSD City.
-----
Namanya juga kegiatan sosial, jadi kami berusaha (sekuat tenaga) melibatkan donatur.
Biasanya kami membuat status (disertakan gambar) di medsos, mengumumkan kegiatan yang sedang dicanangkan.
Tak ubahnya postingan tentang anak kecil sebagai tulang punggung, atau nenek renta yang masih membanting tulang (seperti di awal tulisan ini).
Maka postingan kegiatan lumayan mendapat banyak apresiasi, berupa like dan komentar berisi dukungan dan doa.
Lagi-lagi jiwa kemanusiaan itu muncul, ketika kebaikan ditampilkan ke permukaan (baca di medsos).
Tetapi persoalan merespon (dalam bentuk tindakan) atau tidak, itu persoalan yang berbeda.
Masih terlalu perhitungan, ketika hendak mengeluarkan barang atau uang untuk donasi.
Saya sadar bahwa bersedekah itu baik, tetapi untuk mengeluarkan isi dompet ya nanti dulu.Â
Jangan sampai karena memberi ke orang, keperluan saya dan anak istri menjadi terganggu --Â ya, baru sebatas itu pemahaman saya.
Butuh waktu untuk mengalahkan diri, karena selain akal kita dianugerahi nafsu.Â
Dan nafsu inilah, muasal keengganan. Memang, pada dasarnya kita senang kebaikan, meskipun enggan menjalankan- karena alasan tertentu.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H