Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ingat Ya, Ayah Tidak Selalu Benar!

18 Juli 2020   10:58 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:45 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak ayah mendidik anak terlalu ketat (Foto: Kidspot)

Ayah manapun, (idealnya) pasti ingin melakukan yang terbaik untuk keluarga. Ayah rela bekerja sekuat tenaga dan pikiran, berharap pulang dengan hati riang.

Disambut senyum istri di depan pintu, kemudian anak-anak berebutan menyalami dan mencium punggung tangan si ayah.

*Meski kadang kenyataan tak seindah bayangan, sejauh pengalaman kita sendiri yang berusaha keras mewujudkan. Wallahu'alam, kondisi setiap rumah tangga tidaklah sama.

Saya, ayah dengan dua anak beranjak besar. Malahan si sulung (bisa dibilang) sudah perjaka, tingginya hampir menyamai ibunya.

Sampai sekarang, masih saja dibuat gemas (sayang) dengan anak-anak. Sesekali ingin balik, ke masa saat mereka suka gelendotan manja di punggung ayahnya.

Ada waktu ingin menggendong lagi, setelah gadis nyaris sepuluh tahun bersedia, ternyata saya yang tidak kuat lagi menyangga.

Apalagi yang perjaka, didekati dan diusap punggungnya saja menghindar. "Ayah, kakak sudah besar," ujarnya mengingatkan sembari menjauh.

Ya, saya mungkin tipe ayah lebay---hehehehe. Karena rasa sayang yang (menurut saya) besar, sikap reflek itu muncul tiba-tiba tanpa dibuat-buat.

Kemudian dibuat tersadar, cara orangtua mengekspresikan sayang tidak stagnan. Bahwa ayah dan ibu, musti menyesuaikan usia dan psikologis anak-anak.

Menjadi orangtua adalah proses belajar seumur hidup, setiap perkembangan usia anak musti dibarengi kita orangtua juga berubah menyikapi.

Pada tahapan ini yang membuat hidup terasa dinamis, bahkan sampai nanti anak-anak berumah tangga dan ayah ibunya menjadi kakek atau nenek. (Insyaallah, semoga sehat dan panjang usia-Amin).

dokpri
dokpri
----------

Menjadi ayah tidak hanya siap dengan yang enak saja. Banyak kondisi tidak ideal datang, dan menuntut penyikapan secara dewasa.

Kompasianer yang sudah menjadi ayah, saya yakin pernah mengalami. Berada pada situasi kondisi yang memantik emosi, sehingga tak sanggup meredam amarah.

Apalagi yang punya anak jelang tujuhbelas tahun, biasanya mulai punya pendapat, kemauan dan argumennya sendiri.

Anak sudah berani pergi ke mana-mana sendiri, anak mulai ijin menginap di rumah teman, anak melangkah jauh dengan dunianya sendiri.

Orangtua disatu sisi mulai dilematis, melepas anak dan jauh dari pengawasan. Kadang timbul rasa kawatir, dan biasanya orangtua yang musti meredam.

Tetapi saya juga mulai belajar menerima kenyataan, bahwa hal demikian adalah sebuah keniscayaan (dulu saya pernah mengalami).

Ingat ya, Ayah Tidak Selalu Benar !

Siang itu, saya dibuat kesal dengan sikap anak lanang. Ketika sedang diburu waktu untuk zoom meeting, ada kendala teknis di laptop.

Sementara dari handphone anak, ternyata mudah mengakses kegiatan tersebut (zoom meeting). Tetapi karena alasan lowbat, handphone tidak boleh digunakan (padahal untuk kondisi terpaksa, masih bisa dipakai sambil dicharge).

Sontak kemarahan si ayah muncul, tampak dari nada suara yang meninggi, raut muka tak enak ditampakkan dan gesture medukung.

Suasana mendadak hening, saya hapal kebiasaan di rumah. Istri dan anak-anak biasanya takut, kalau saya mulai kelihatan emosi.

dokpri
dokpri
Seharian ayah didiamkan, hanya istri yang mendekat dan mengatakan untuk hal pokok saja, "Makan sudah di meja ya Yah".

Kemudian demi menghindari ayahnya, anak-anak mencari aman dengan mengajak ibunya mengungsi ke rumah eyangnya (hanya sepuluh menit dengan motor).

Masa sendiri di rumah, biasanya membuat saya merenung. Memutar waktu pada kejadian belum lama, menimbang benar dan salah dengan sikap saya.

Di awal perenungan ego selalu berkobar-kobar, merasa apa yang dilakukan selalu benar dan demi kebaikan anak.

Tetapi semakin lama waktu berjalan, kesadaran akan perasaan bersalah mulai mengemuka. Bahwa sebenar apapun posisi saya, sebaiknya jangan bersikap demikian.

Anak tetaplah anak, dan jangan sampai orangtua dalam mengungkapkan maksud atau keinginan, justru membuat renggang hubungan.

Kalau emosi sudah meredam, biasanya (sebagai orangtua) dibarengi dengan penyesalan. Dan dengan membuang gengsi, kita orangtua janganlah enggan untuk minta maaf pada anak.

Dampak ayah mendidik anak terlalu ketat (Foto: Kidspot)
Dampak ayah mendidik anak terlalu ketat (Foto: Kidspot)
Saya meyakini sekecil apapun peristiwa yang ditanam, akan disimpan di benak anak-anak sampai mereka besar dan kelak mandiri.

Hidup memang tidak selalu berjalan ideal, tetapi kita sangat bisa memutus mata rantai itu, dengan (salah satunya) mengelola ego dan gengsi.

Kita orangtua memang lebih kaya pengalaman, karena jelas waktu ditempuh lebih panjang dan kita lebih dulu ada di bumi ini.

Tetapi pengalaman saja tidak cukup, kita musti menambahkan dengan jiwa arif. Dengan tidak gampang meluapkan amarah, ketika mendapati suasana tidak ideal tersebut.

Karena, perlu diingat, Ayah Tidak selalu Benar !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun