"Namun, guyonan tetaplah memperhatikan rambu-rambunya, jangan sampai masalah serius dibuat guyon dan akhirnya kebablasan yang menyesal diri sendiri. Salah satunya adalah guyon masalah perkawinan, yang rentan mengundang kesedihan."Â
Seiring bertambahnya usia, selera humor saya (rupanya) mulai bergeser. Pada guyon yang nyerempet batas bahaya, bagi saya lucunya sama sekali tidak ada.
Entahlah saya banyak tidak setuju, pada guyonan yang berpotensi melukai baik fisik maupun psikis alias banyak mudhorotnya..
Kompasianer mungkin masih ingat, kisah ojol yang diprank dengan pesanan makanan minta diantar ke tengah kuburan. Adalagi prank sangat bahaya, yang tiga orang sama sama melompat, kemudian yang tengah dua kaki dijegal dan jatuh bertumpu pantat.
Beberapa chanel youtube, ada yang suami ngeprank istri atau sebaliknya, ada anak ngeprank orangtua atau sebaliknya. Dan hal itu dilakukan baik public figure atau bukan, si korban (yang terkena prank) menangis dan sedih beneran. Baru kemudian dibilang kalau diprank, duh, lucunya di mana coba.
Kisah cukup heboh, adalah prank yang dilakukan kepada kaum transpuan dan berujung membawa pelaku masuk penjara.
------
"Guy's, hari ini gue mo kondangan bareng istri. Nah, gue mo ngeprank bini gue. Critanya, di jalan gue nyuruh temen nelpon, sebelumnya udah janjian sih. Pura-puranya, temen ini adalah mantan gue. Kita saksikan bareng, gimana reaksi bini gue."Â
Pengantar vlog di sebuah chanel youtube ini, tentu membuat penasaran penonton (awalnya saya juga sih). Skenario yang disampaikan, berhasil mengusik kekepoan saya.
Kemudian rekaman video dipotong, kemudian rekaman pindah di dalam mobil. Suami dengan baju batiknya ada di belakang kemudi, sang istri tak kalah rapi duduk bersebelahan dan memangku bayi umur satu tahun lebih.
Layaknya pasangan muda, ngobrol ringan dan mendengar musik dari radio. Istri belum sadar, kalau ada kamera handpone sedang merekam.(Seperti skenario) Selang beberapa saat, telpon suami berdering. Kemudian terjadilah percakapan, dan suami muda sengaja mulai melancarkan aksi.
Percakapan dibuat sedemikian rupa, suami membuat kalimat atau bahasa tubuh yang mengundang perasaan curiga.
"Iya, iya, ntar" *sambil setengah berbisik.
Sesekali nada suara dipelankan, kemudian dipilih kalimat seperti membuat kode tertentu, atau menunjukkan bahasa tubuh seperti menjauh atau muka berpaling sambil bersisik.
Saya yakin, Kompasianers bisa membayangkan berada di situasi seperti demikian. Situasi yang diciptakan suami, sangat memancing keingintahuan dan penasaran. Maka begitu sambungan telepon ditutup, (skenario jebakan berhasil) barulah istri mulai bertanya meminta penjelasan.
Mama (M) - Papa (P)Â
M: "Telepon dari siapa Pah?"
P: "Temen"
M: "Temen siapa, kok ngobrolnya kaya pake rahasia gitu"
P: "Enggak,"
M: "Kok enggak, apa yang enggak"
P: " Ya, nggak papa" Dsb...dsb...dsb...... dsb dsb
Semakin suami berkelit, semakin istri terus memburu. Sampai mulai ada nada getir, dalam getaran suara sang istri. Dan sesuai skenario, akhirnya (pura-pura) mengaku bahwa yang menelpon adalah mantan yang mengajak ketemuan.
Tetapi suami muda belum menyanggupi, karena mau minta ijin pada sang istri. Ya, mana ada istri ngijinin suami ketemu mantan. Saya melihat luka itu tergores di benak istri, sembari berujar disela menahan tangis, buah hati dipeluk erat untuk mengalirkan kekuatan.
Sampai adegan ini, selera guyon saya mulai menguap. Apalagi suami, terkesan masih mengulur-ulur drama. Seolah menikmati tangisan istri, yang mengungkapkan rasa kecewa dan menahan sedih.
Istri menyampaikan, seharusnya suami bisa mengambil sikap sendiri. Sikap menerima ajakan ketemuan, atau sikap penolakan, tanpa meminta ijin.
"Kalau mau papah pilih mantan, mamah..... (kalimat tidak dilanjutkan, setelah itu nangisnya semakin menjadi)."
Suasana berubah melow, apalagi ketika melihat wajah bayi yang polos dan tak paham apa yang sedang dialami ibunya. Seolah adegan sampai pada klimaksnya, barulah suami memecah suasana dengan menyudahi sesi prank dengan mengaku bahwa yang dilakukan murni bercanda.
Istri yang masih tenggelam dalam sedih, masih belum move on meski ditunjukkan kamera handphone di atas dashboard sedang merekam.
Si suami tampak berusaha keras, menjelaskan pranknya sambil tertawa mencairkan situasi. Memastikan sang istri lenyap sedihnya, dan wajahnya kembali ceria dan bibirnya tersenyum.
Tapi rasa pedih yang timbul atas prasangka, rupanya terlanjur memenuhi hati sang istri, sehingga butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Boleh Guyon, Tapi Perhatikan Batasannya !
Ilustrasi pernikahan. (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius : (1) nikah (2) talak dan (3) rujuk. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, "Para ulama dari yang saya ketahui berijma (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah sama saja (tetap jatuh talak).
Guyonan atau becanda suami istri memang perlu, karena bisa membantu mengusir stres akibat beban hidup. Apalagi di situasi pandemi seperti sekarang, ada yang kehilangan pekerjaan ada yang menurun pendapatan sementara masih punya tanggungan utang.
Namun guyonan, tetaplah memperhatikan rambu-rambunya, jangan sampai masalah serius dibuat guyon dan akhirnya kebablasan yang menyesal diri sendiri. Salah satunya adalah guyon masalah perkawinan, yang rentan mengundang kesedihan.
Banyak guyonan ringan, yang bisa menerbitkan senyum dan bahagia. Akan lebih aman dibanding guyon, yang berpotensi mencetusnya kalimat talak (baik sengaja atau tidak).
Seperti kisah prank suami istri diatas, sangat mungkin istri berduka dan emosi dan meluncur dibibirnya kata atau kalimat tak diingini.
So, suami ngeprank istri sampai menangis, di mana lucunya?
Happy week end Kompasianer, Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H