Hallo Kompasianer, salam sehat selalu, tetap semangat dan  stay at home ya. Hampir sembilan puluh hari, kita dididik disiplin dan belajar menaklukkan ego. Keadaan yang (dianggap) tidak mengenakkan ini, suka tak suka musti tetap kita hadapi dan jalani. Â
Meskipun ada diantara kita, (mungkin) sudah terlalu jenuh dan bosan. Ya, bagaimana lagi. Kita dituntut kreatif, mengisi waktu dengan aneka kegiatan yang sekiranya bisa produktif dan bermanfaat.
Belakangan, marak penyebutan istilah "New Normal" kemudian di tweetnya uda Ivan Lanin menyebut "Kenormalan Baru" adjektif dari Kewajaran baru atau kelaziman baru.
Suatu Keadaan baru buah dari penyesuaian, meski sebagian kita (bisa jadi) masih merasa jengah. Karena kondisi yang berlangsung, ternyata berbeda dari hari-hari biasanya.
Kondisi saat ini, memang terbilang lain dari yang lain. Kita musti menyikapi dengan sebaik sikap, dan kehidupan harus terus berlangsung.
Tetapi saya meyakini satu hal, bahwa manusia telah dibekali akal pekerti sekaligus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi.
Bahwa kita manusia dipersiapkan semesta, sanggup dan disanggupkan menghadapi kendala dan menemukan jalan keluar atas setiap permasalahan.
Bukankah manusia juga, yang menemukan tehnologi sehingga bisa memakmurkan bumi menuju kehidupan lebih dinamis hingga saat ini.
Saya yakin, kita semua pasti berharap pandemi ini segera berakhir. Kita disampaikan pada kenormalan baru yang lebih baik dan beradab.
Menemukan kebiasaan-kebiasaan baru, yang membawa kedamaian dan kemaslahatan bersama, tercipta paradigma baru yang lebih manusiawi.
Dan terciptanya kenormalan baru itu, sangat bisa dimulai dari setiap individu. Yaitu dengan membiasakan hal-hal baik (meski kecil), yang kemudian akan menciptakan suasana baru.
Memulai "Kenormalan Baru" dari Diri Sendiri
Kompasianer, hari raya idul fitri baru saja kita lalui. Bagi umat muslim, tuntas sudah menunaikan ibadah puasa Ramadan selama sebulan penuh.
Memasuki bulan syawal, sangat dianjurkan untuk menunaikan puasa syawal (selama enam hari). Â Menurut sebuah riwayat, puasa Ramadan yang digenapkan 6 hari puasa syawal (bisa berturut-turut bisa tidak). Maka akan menghapus dosa selama satu tahun, dan mendapat ganjaran berpuasa satu tahun.
Semangat puasa Ramadan, sangat bisa dijadikan semangat memulai kenormalan baru pada hari ini. Yaitu semangat mengekang hawa nafsu, salah satunya dengan menunaikan puasa syawal.
Kemudian semangat yang sama, kita aplikasikan dalam kegiatan yang lain dalam keseharian. Misalnya, semangat memulai hari dengan bangun pagi. Semangat membuat target kecil, tetapi diulang-ulang sehingga berdampak pada target besar.
Semangat memulai atau berinisiatif melakukan kegiatan menebar kemanfaatan, tanpa menunggu orang lain memulai lebi dulu.
Saya membayangkan kenormalan baru, bukan sesuatu hal yang besar yang sulit untuk diwujudkan. Tetapi hal baik yang sederhana, yang bisa dikerjakan oleh siapapun.
Dan apabila hal kecil dan baik ini, kemudian dilakukan secara serentak oleh setiap individu, akan memberi dampak yang luar biasa besar.
Menurut saya, kenormalan baru adalah sebuah tatatan kehidupan, yang lebih teratur dan sistematis, membawa dampak bagi kebaikan bersama dan menuju suatu kondisi yang diharapkan.
Misalnya di rumah tangga, suami meyayangi istri dan anak-anak, istri menghormati suami, anak-anak patuh kepada orangtua karena keteladanan.
Kenormalan baru, (bagi saya) bukan hal muluk-muluk dan susah dijangkau akal pikiran. Tetapi hal yang sederhana dan mudah diwujudkan, tetapi memberi prasyarat yaitu kedisiplinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H