Sepekan menjelang lebaran, biasanya di kampung halaman saya mulai ada kegiatan yang sangat khas. Ibu sudah "ngomel", minta kami anak-anak bersih-bersih makam kakek (ayah dari garis ibu). Kemudian ayah, mengajak satu diantara kami (tiga kakak beradik) untuk ikut serta.
Jarak rumah ke makam sekira 2 kilometer, karena motor satu-satunya (kala itu) dipakai kakak mbarep (kuliah di kota), maka berdua ke makam dengan jalan kaki. Saya masih ingat, ayah sengaja membawa bunga tabur seplastik penuh.
Sesampai tujuan, makam yang kami tuju kali pertama, adalah makam mbah kakung (ayahnya ibu). Â Ayah mengajak membersihkan makam lebih dulu, rumput, lumut dan tanaman kecil liar yang tumbuh dibersihkan.
Kemudian setelah dirasa bersih, saya seperti diajak memasuki suasana berubah magis. Ayah memulai berdoa, saya (masih SD) duduk di samping kiri ikut menunduk dan merapal doa apa saja sebisanya.
Paling aman, adalah membaca al fatihah yang ditujukan ke Rasulullah, para sahabat, alim ulama dan wabil khusus kepada arwah mbah kakung.
Di makam mbah kakung, kami bisa sampai lima menit-an bersih-bersih dan berdoa. Dan taburan bunga dilakukan, ayah dua kali dan saya juga dua kali.
Setelah selesai dari makam utama (mbah kakung), ayah mengajak keliling area makam, nyamperin makam saudara dari garis mbah kakung yang sudah tiada.
Kami berdoa dan menabur bunga, tapi tidak jenak seperti di makam mbah kakung. Bisa empat lima makan didatangi, dan kembang ditabur seperlunya.
Kalau kembang di plastik masih ada, ayah melihat nama-nama lain yang terpahat di nisan, yang sekira dikenal. Biasanya tetangga (dekat atau jauh), teman ayah atau ibu, atau siapa saja yang namanya pernah dikenal ayah.
Biasanya, ayah sembari menjelaskan silsilah orang yang makamnya kami dekati. Kadang, dikisahkan sedikit kebaikan almarhum/ almarhumah.
Kalau sekiranya sudah cukup, kemudian kembang masih tersisa. Sebelum benar-benar keluar makam, ayah minta anak bungsunya menyebar di pintu masuk makam.