Melihat fenomena ini, cukuplah saya mengambil kesimpulan. Bahwa kita manusia, pada dasarnya dianugerahi sikap mulia .
Kita semua, pada dasarnya gemar gotong royong, tidak tega melihat saudara menderita dan tak enggan mengulurkan tangan membantu sesama.
Lalu kemanakah, semua sikap baik itu kemudian bersembunyi?
Hidup dalam keseharian kita, tak lepas dari pertarungan dan kompetisi di berbagai bidang. Mulai dari sekolah, kita terbiasa bersaing mendapatkan nilai dan prestasi yang bagus.
Di lingkungan pekerjaan, untuk mendapatkan komisi, sesama marketing bersaing mencari hasil penjualan tertinggi. Pada level staf bekerja maksimal, agar mendapatkan kenaikan pangkat dan gaji.
Di kehidupan keseharian, kita bersaing mendapat pengakuan masyarakat sekitar. Di lingkungan pergaulan kita bekerja ekstra, untuk tampak menonjol dan dilihat orang.
Di medsos kita berusaha eksis dan mengupayakan sesuatu yang viral, sampai apapun dilakukan untuk tujuan itu.
Dan dari persaingan demi persaingan itulah, kita mulai berstrategi agar bisa terus memunculkan diri, meski caranya adalah (terpaksa) menjatuhkan orang lain.
Demi masuk sekolah favorit, ada yang tak segan lewat pintu belakang, karena nilai si anak tidak memenuhi syarat dan ketentuan.
Di pekerjaan rela sikut sana sikut sini, menjilat pimpinan agar dekat, dan kemudian menjadi orang kepercayaan pimpinan (meski minim prestasi).
Para pejabat berupaya sedemikian rupa, merebut perhatian pemilihnya dengan bagi-bagi sembako, dan setelah itu menggelapkan dana masyarakat.