Kompasianer, setuju nggak dengan pendapat saya. Kalau sebagian kita, biasanya jengah kalau dikatakan gendut -- saya juga sih. Kata gendut, (menurut saya) seperti mengandung unsur bullying. Dan di telinga, rasanya gimana gitu.
Sementara itu, ada beberapa teman atau saudara. Yang malah pede dengan tubuh gendut dimiliki, kemudian dijadikan ciri khas dan muncul kelebihan bakatnya.
Bobot saya, saat ini (bisa dikatakan) naik turun. Sejauh ini, Â saya selalu berusaha menahan diri, tidak mengonsumsi sembarang makanan. Saya sadar usia dan memprioritaskan kesehatan. Ternyata alasan ini, menjadi rem yang cukup ampuh.
Puncak kegendutan itu, pernah saya alami pada sekitar tahun 2016-an. Kala itu, saya pernah sakit dan sempat khawatir terkena stroke.
Kemudian nasehat ahli nutrisi, tentang mana asupan baik dan tidak baik bagi tubuh. Makanan apa yang sebaiknya dihindari, benar-benar saya terapkan demi kebaikan diri sendiri.
Keputusan itu, cukup manjur --- Bobot saya yang dulunya sekuintal itu, perlahan-lahan menyusut. Badan menjadi lebih enteng, kebiasaan pusing mereda dan jadwal kerokan sangat jarang ditunaikan.
Tapi tunggu dulu, Â ujian untuk hidup sehat ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ketekunan dan konsistensi, menjadi ujian yang paling berat.
Melihat makanan kesukaan, biasanya mulai kendor pertahanan. Kalau sedang datang rasa malas, olahraga rutin mulai ditinggalkan.
Apalagi hari hari belakangan, ketika gerakan stay at home sedang di galakkan. Maka kemalasan itu, seperti memanggil-manggil untuk dilakukan.