Saya masih ingat, kali pertama merantau di Jakarta pada awal tahun 2000-an. Saya sengaja tidak mudik, dengan alasan belum dapat cuti dari kantor. Ayah dan ibu sih percaya, tapi ada saudara yang tahu alasan saya sebenarnya.
"Kerja kantoran, nggak mungkin lebaran nggak dapat cuti" ujarnya sengit "Apaan itu".Â
Saya bisa  merasakan getaran jahat pada suara ini, meski hanya mendengarkan dari ujung telepon.
Benar perkiraan saudaraku ini, bukan masalah tidak mendapat cuti, alasan tidak mudik kala itu. Tetapi saya tidak siap dinyinyirin saudara (termasuk yang nyeletuk di telepon), ketika sedang kumpul keluarga besar.
"Calonmu itu mana?"
"Kamu itu, buat apa kerja mati-matian, kalau nggak buruan nikah,"
Mendengar aneka cibiran seperti ini, saya tak menjawab dan memilih pergi sembari bersungut ngomel.
Masih banyak kalimat lain, yang membuatku merasa geram tersudut. Dan parahnya, hal itu diulang-ulang di berbagai kesempatan. Seolah khalayak umum harus tahu, "aib" si adik bungsunya.
Saya sendiri, sebenarnya pernah memasang target menikah, di umur duapuluh lima tahun. Sebelum usia dicanangkan, pernah kenal dan dan naksir adik kelas saat kuliah.
Tapi kenyataan bicara lain, tidak semua target selalu tercapai sesuai keinginan, Â karena ada kekuatan di luar diri yang lebih berkuasa.
Ketika mendekati umur tigapuluh, barulah pasangan jiwa dinanti akhirnya ketemu juga. Tanpa berlama-lama, saya memberanikan diri bertemu calon mertua.
Jalan itu dimudahkan, saya diterima dengan baik oleh keluarga calon istri. Dan dilancarkan sampai ijab kabul diucapkan.
******
Baru setelah ibu memasuki usia 70, saya selalu mengupayakan rutin pulang kampung meski tidak tepat pada hari H raya.
Seperti lebaran tahun lalu, saya dan keluarga mudik sepekan setelah sholat idul fitri ditunaikan. Jalanan sangat lengang dan lancar, harga tiket kereta berangsur normal.
Bahkan kami sempat mampir ke Surabaya, istri dan anak-anak ikut napak tilas ke tempat yang pernah disinggahi ayahnya.
Tidak Mudik, Siapa Takut !
Sejujurnya, sejak awal februari, saya sudah membeli tiket mudik lebaran tahun ini. Tiket pulang pergi sudah di kantong lengkap dengan nomor barcode. Siap dicetak, satu jam sebelum jadwal keberangkatan.
Rencana ini sudah saya sampaikan pada ibu, dan beliau sangat senang mendengarnya. Saya hapal kebiasaanya, yaitu menghitung hari secara mundur.
Perempuan sepuh ini, selalu saja merindukan kedatangan cucu-cucu yang beranjak besar. Setiap kali video call, tak pernah lewat minta melihat dua cucunya.
Tetapi, manusia hanya bisa berencana. Selebihnya tidak punya daya upaya, untuk menentukan apakah terwujud atau tidak. Dan mudik yang sudah dirancang jauh hari itu, terpaksa batal atas permintaan ibu.
"Ra, usah mudik ra popo"
Kota kecil di sudut Jawa Timur itu, dinyatakan zona merah covid-19. Bahkan akses menuju kotamadya sudah ditutup, alhasil pengendara roda empat dan roda dua musti balik arah.
Pulang kampung, berpotensi terjadi persilangan virus dari kita (yang imunnya kuat) kepada kaum rentan (para sepuh) ada di desa. Kita, pasti tidak ingin , orangtua sakit gara-gara kecerobohan itu.
Keputusan untuk tidak mudik lebaran tahun ini, (bagi saya) adalah keputusan yang tepat. Yuk, jangan egois dan memikirkan kemauan sendiri.
Silaturahmi, sementara bisa dilakukan melalui video call. Mungkin tidak memuaskan, tetapi kita tidak punya pilihan banyak.
Semua musti ditahan dulu, sampai kondisi benar-benar kondusif. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H