"Gimana bocah-bocah, sehat semua to, mana aku pengin lihat,"
Sejak merebak virus Corona, ibuku di kampung lumayan sering berkomunikasi dengan anak bungsunya. Seminggu bisa tiga empat kali, itupun dengan durasi cukup lama. Dan biasanya beliau, berinisiatif menghubungi lebih dulu.
Melalui sambungan video call, wajah ibu memenuhi layar smartphone. Kemudian dua cucu dan mantunya dipandangi, sembari bertanya kabar dan perkembangan.
"Cucuku wis gede yo,"
Tiga bulan lalu, jangankan telepon, japri-nan saja ibu sangat enggan.Â
Android baru dibelikan cucu yang bekerja di Surabaya, lebih kerap digeletakkan dan dianggurin saja di buffet.
"Kamu itu, apa nggak punya pulsa to" suara setengah membentak mengagetkan.Â
Saya yang sudah biasa nelpon seminggu satu atau dua kali, jadi serba salah. Dengan tak ada pilihan, mendadak kena semprot dan dibilang jarang telpon.
Setelah kujelaskan alasannya, tetap ibu mengelak. Maka aku memberi solusi, kalau sewaktu-waktu kangen cucu, ibu bisa menelepon duluan.
"Aku, bisanya cuma nrima telepon"Â
Jawaban pamungkas itu, membuatku tak punya kalimat untuk membalikkan.