Saya masih ingat, ketika menghadiri  sharing session bersama Ahmad Fuady, penulis novel Negeri Lima Menara. Fuady yang kerap mendapat beasiswa, mengisahkan tahapan untuk mendapatkan sekolah gratis di luar negeri.
Dan setelah beberapa negara disinggahi, pria asal kampung di seputar Danau Maninjau ini ditunjuk menjadi juri seleksi pencari beasiswa.
Ada penjelasan yang membuat saya terkesan. Pada sesi wawancara, setiap peserta diminta menjelaskan upaya melestarikan lingkungan.
Rupanya banyak peserta gagal di pertanyaan ini, karena sebagian besar jawaban dikemukakan masih pada tataran sangat normatif.
Misalnya melestarikan lingkungan, melalui gerakan penanaman kembali hutan gundul, dan atau setiap menebang satu pohon diganti dengan menanam sepuluh pohon.
Ada yang lebih serius lagi, yaitu mendorong dibuatnya payung hukum lebih tegas. Sehingga penebang tidak seenaknya sendiri, meratakan pohon di kawasan hutan.
Dan ada beberapa peserta berhasil, kemudian berhak mendapat beasiswa. Jawaban dikemukakann sangat personal, meski skalanya kecil dan sederhana.
Calon penerima beasiswa ini bercerita, pernah ikut menanam bibit pohon di halaman sekolah. "Kebaikan kecil tapi dilakukan nyata, akan mendapat apresiasi dari dewan juri," ujar Fuady.
-------
Bersama Kang Rifky, Mbakyu Mey Agatha dan Bang Dzul, (tanpa terasa) lebih kurang empat tahun bergandengan tangan bahu membahu.
Karena kami berempat (masing-masing) sudah berkeluarga, dan kenyang dengan pengalaman naik turunnya kehidupan. Maka kadang pikiran ini sejalan, ketika mencetuskan ide dan ternyata sudah ada di kepala masing-masing.
Satau hal membuat saya betah ngobrol dengan tiga admin, kami tak berpikir panjang ketika mengeksekusi kegiatan sosial.
Selaras dengan tagline Komunitas, Silaturahmi, Berbagi dan Inspirasi. Sehingga setiap kegiatan diadakan mengacu pada tiga hal (tagline) tersebut.
Lakukan Kebaikan Meski Kecil daripada Sekedar Berteriaki
Tahun 2020 baru masuk di bulan ketiga, setidaknya Ketapels sudah melakukan tiga kali aksi sosial. Yaitu donasi buku, berbagai nasi bungkus dan menyumbang sabun cuci tangan cair.
Kami tidak berpatokan kuantitas, bahwa yang diberikan musti dalam jumlah yang besar---BIG NO! Donasi dilakukan dari hal kecil, sesuai kemampuan tetapi dibarengi niat yang baik.
Sementara untuk berbagi sabun cair, saya (mewakili Ketapels) berpindah ke tiga mushola di sekitar rumah, yang sekiranya lebih membutuhkan.
Kemudian ucapan terima kasih dan doa-doa tulus itu, seolah berhasil merasuk ke dalam relung kalbu kemudian menuntun bibir mengaminkannya.
-----
Beberapa kali saya menjumpai di medsos, orang yang berteriak kencang kadang sepi di perbuatan. Pernah ketika banjir awal tahun di Ibukota, mereka mengkritik pemangku kepentingan dalam menangani banjir.
Saya iseng mampir dan memberi komentar, berisi ajakan untuk turun langsung atau donasi sembari meninggalkan eflyer. Responnya datar datar saja, dan terbukti mereka tidak ikut berdonasi.
Sayapun jadi punya kesimpulan, jangan-jangan sekarang marak isu Virus Corona, mereka juga lantang berteriak tetapi (lagi-lagi) sepi dalam perbuatan.
Maka saya sangat salut, dengan teman-teman yang tidak banyak bicara tapi sibuk dalam tindakan. Tidak harus selalu berdampak besar, cukup dengan tindakan kecil dan dimulai dari lingkungan terdekat itu akan lebih baik.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H