Sepotong pagi yang riuh, di pelosok desa di kaki gunung lawu. Tersiar kabar, mbah penjual jamu gendong berpulang. Simbah tergolong jarang sakit, di usianya yang sepuh masih berjualan jamu. Sampai ada kejadian mengejutkan, beberapa hari sebelum meninggal rupanya tertabrak motor.
Kami para tetangga dan pelanggan jamu berduka, setiap orang memutar memori. Beberapa  (terutama) ibu dan para tetua, mengisahkan ulang pengalaman bersinggungan dengan simbah.
Saya yang kala itu maih SD, termasuk penggemar jamu beras kencur simbah. Tangan keriput itu, dengan kuku dan telapak tangan warna kekuningan bekas memeras kunir. Tampak tangkas melayani pembeli, hapal padupadanjamu hendak disuguhkan.
Perawakannya kurus dengan rambut penuh uban digulung, tubuhnya dibalut jarik usang dan kebaya model lama. Setiap hari pasaran (pon dan kliwon) datang, langkah pendek simbah menyusuri jalanan dari rumahnya menuju pasar kampung.
Karena tidak punya bedak (lapak), simbah menjajakan jamu di pleser (samping pintu masuk pasar). Mengambil posisi duduk menghadap tenggoknya, nyempil bersebelahan dengan penjual cabe dan jajanan.
-----
"Mbah wedok itu, orangnya ati-ati, "seorang ibu paruh baya memulai cerita,"Kalau mau jualan ke pasar, jalannya lurus mlipir nggak pakai nyebrang".
Ibu yang lain menyaut, " Iya, biasanya aku lihat gitu, Lha kok kemarin, pakai nyebrang segala. Gara-gara ada pelangan yang manggil," terasa ada nada menyalahkan pelanggan pada kalimat ini.
"Padahal simbah mau nyebrang, sudah nengok kanan kiri. Tiba-tiba ada motor nyelonong" sahut ibu satunya lagi"Ya gimana lagi, memang sudah takdir".
Saya sepakat dengan kalimat ibu terakhir. Pada kalimat "memang sudah takdir" mengajak kami (pendengarnya) memberi kesimpulan ada sesuatu di luar kuasa manusia.
Bahwa kejadian antara simbah yang berjalan menuju pasar, kemudian pelanggan yang memanggil, dengan pengendara motor tidak direncanakan sebelumnya.
Haqul yaqin, kejadian pagi itu bukan kejadian yang diskenariokan satu diantara mereka. Bahwa simbah bukanlah orang membahayakan, sehingga mustahil dijadikan target atau sasaran ditiadakan.
Bahwa pelanggan menjadi penyebab simbah menyebrang jalan, bahwa pengendara motor menyebabkan simbah terluka dan kemudian beberapa hari berikutnya meninggal.
Hal ini membuktikan, bahwa setiap takdir yang terjadi pada setiap orang tidak berdiri tunggal. Memerlukan orang lain untuk terlibat, dan setelahnya bisa menjadi pelajaran dan hikmah. Â
Pun Takdir Pernikahan---- Saya sendiri, sama sekali tak menyangka akhirnya dipertemukan dengan jodoh dan menikahi istri.
Saya yang berasal dari pelosok Jawa Timur, semasa merantau di Surabaya sudah berupaya keras mencari belahan jiwa di Kota Pahlawan. Sedikit demi sedikit uang ditabung, pernah membeli kavling perumahan di daerah Sidoarjo.
Tapi upaya demi upaya bersua calon istri, nyatanya tak kunjung membuahkan hasil (setelah kenalan dengan beberapa teman). Rupanya takdir tentang jodoh saya, belum bersinggungan dan mengisyaratkan saya lebih gigih berusaha.
Proses pertemuan dengan calon istri, melalui perantara teman (dicomblangi pihak ketiga). Jadi takdir pertemuan saya dengan calon istri,juga tidak berdiri tunggal dan ada pihak lain (teman) turut berperan.
Apakah semua kejadian kami skenariokan, saya bisa menjamin tidak ada yang menyangka sama sekali. Â
Bahwa teman yang mencomblangi kami, memilih saya untuk dipertemukan dengan teman perempuannya (calon istri saya). Â Bahwa teman perempuan yang mau dikenalkan, kala itu belum ada calon dan bersedia dilamar.
Adalah takdir yang melibatkan beberapa pihak, kemudian menjadi satu dalam satu titik moment.
Nah, Kompasianer yang masih berusaha menemukan belahan jiwa. Melibatkan pihak ketiga untuk mempertemukan takdir jodoh, rasanya tidak ada salahnya dicoba. Namanya juga usaha, kenapa tidak.
- Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H