Semasa berseragam merah hati putih, ayah adalah orang yang paling saya "takuti". Mendengar deheman-nya saja, nyali ini langsung mengkeret dan kaki tak berani beranjak.
Badan seketika mematung, saya seperti kehilangan ide atau apapun untuk dikerjakan. Sungguh saya dibuat mati gaya, tak berkutik dengan situasi yang ada.
Pada dasarnya ayah memang irit bicara, meskipun pembawaannya kalem tetapi di mata saya ayah adalah sosok (kala itu) begitu kaku.
Dan menurut saya, ayah tampak menikmati jarak antara kami. Pernah sesekali ayah berusaha mendekati saya, tetapi saya merasakan tak sepenuh hati.
Karena tidak bisa dekat dengan ayah, semasa SD saya kerap bercerita apapun kepada ibu. Kalau tiba-tiba ayah lewat di depan kami, obrolan otomatis berjeda dan waktu seperti menggantung sampai ayah berlalu kemudian obrolan dilanjutkan lagi. Â
Dengan ayah saya bicara seperlunya saja, itupun enggan bersitatap dan bisa dihitung berapa kali beradu pandangan (saya lebih banyak menunduk).
Kata "iya", adalah kata yang sering muncul dari bibir mungil kala itu. Selebihnya saya lebih banyak diam, tidak ada interupsi apalagi membantah. Bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya, apabila komunikasi terjadi hanya searah.
Dan ternyata kejadian ini tidak pada ayah saya sendiri, para ayah teman semasa SD atau SMP nyaris sama pembawaan di depan anak-anaknya.
Sampai saya berkesimpulan, apakah semua ayah memang dihadirkan serupa antara satu dengan yang lainnya. Â Lebih banyak diam, dan sibuk dengan pembawaan diri sedemikian rupa.
-----
Belajar dari pengalaman ayah dan kakak, saya mulai berbenak dari diri sendiri. Setelah menikah dan memiliki buah hati, anak-anak saya beri kebebasan berekspresi. Ayah membuka diri, agar anak mengungkapkan apa yang dirasakan pada ayahnya.
Tetapi sebagai ayah, saya musti bisa menjaga agar tidak kebablasan. Tetap bisa membawakan diri, agar anak tidak "ngelunjak" dan tidak semua kemauan dituruti.
Saat sekarang, bukan hal ganji melihat hubungan anak dan orang tua tampak lebih cair. Tingkat pendidikan orang tua, menjadikan pergeseran perilaku, pemikiran  dan sudut pandang.
Ayah Jangan Jaim dengan Jagoanmu !
Saya ayah dengan satu jagoan sudah baliq, merasa beruntung merasakan tahap demi tahap tumbuh kembang lelaki buah hati dari waktu ke waktu.
Dari usia dini cukup lengket dengan saya, hampir tiada ayah tanpa anak disampingnya, kemanapun pergi selalu mengekor (kecuali ngantor).
Pernah karena perjalanan dinas dari luar kota, saya pulang ke rumah sangat larut. Dan anak kesayangan belum juga tidur, karena menunggu ayahnya sampai rumah dan tidur di sampingnya.
Sekilas memang terkesan repot, tetapi saya berusaha menikmatinya. Karena terpatri keyakinan, bahwa keadaan ini hanya sesaat dan akan berlalu pada waktunya.
Dunia baru menakjubkan dijamah, larut dalam keseruan permainan dan kesibukan sekolah dengan sebayanya.
Ada atau tidak adanya si ayah mulai tidak lagi dipermasalahkan, dan saya hanya seperlunya saja nongol memastikan semua berjalan dengan aman dan baik. Meski kedekatan ayah dan anak tetaplah terjalin, tentu dengan metode dan cara yang agak berbeda.
Menjelang tidur kami ngobrol layaknya dua sahabat, dan anak menceritakan apapun yang dialami seharian. Saya memposisikan sebagai pendengar yang baik, tidak menyalahkan apalagi menghakimi atas apa yang diputuskan.
Sesekali memberi sumbang saran dan pendapat, itupun dengan bahasa yang mudah dipahami agar tidak salah terima.
------
Anak-anak butuh figur untuk diteladani, dan peran ini musti diambil alih oleh ayahnya sendiri. Jangan sampai anak mengidolakan orang lain, dan justru jauh dengan ayah yang seharusnya bisa dijangkau.
Output ini tidak didapatkan seketika atau dengan serta merta, kecuali melalui proses panjang dan dilihat si anak sejak usia dini dari dalam rumah.
Dan untuk itu semua, ayah jangan jaim dengan anak lelaki. Sehingga anak bisa melihat dan merekan setiap keteladanan ayah, untuk dijadikan referensi ketika mereka dewasa.
Kedekatan ayah dengan anak laki-laki tak bisa disepelekan, karena akan menjadikan komunikasi keduanya cair dan lancar.
Faktor kedekatan, membuat anak lelaki tidak segan atau enggan untuk bercerita atas apa yang dialami dan dirasakan. Â Para ayah, tak ada alasan untuk jaim pada anak lelakimu.
Mumpung ada kesempatan, mari rengkuh mereka dan dekatkan diri kepada jagoan kesayangan, agar sikap dan perilakumu kelak dicontoh anak lanang.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H