Semasa berseragam merah hati putih, ayah adalah orang yang paling saya "takuti". Mendengar deheman-nya saja, nyali ini langsung mengkeret dan kaki tak berani beranjak.
Badan seketika mematung, saya seperti kehilangan ide atau apapun untuk dikerjakan. Sungguh saya dibuat mati gaya, tak berkutik dengan situasi yang ada.
Pada dasarnya ayah memang irit bicara, meskipun pembawaannya kalem tetapi di mata saya ayah adalah sosok (kala itu) begitu kaku.
Dan menurut saya, ayah tampak menikmati jarak antara kami. Pernah sesekali ayah berusaha mendekati saya, tetapi saya merasakan tak sepenuh hati.
Karena tidak bisa dekat dengan ayah, semasa SD saya kerap bercerita apapun kepada ibu. Kalau tiba-tiba ayah lewat di depan kami, obrolan otomatis berjeda dan waktu seperti menggantung sampai ayah berlalu kemudian obrolan dilanjutkan lagi. Â
Dengan ayah saya bicara seperlunya saja, itupun enggan bersitatap dan bisa dihitung berapa kali beradu pandangan (saya lebih banyak menunduk).
Kata "iya", adalah kata yang sering muncul dari bibir mungil kala itu. Selebihnya saya lebih banyak diam, tidak ada interupsi apalagi membantah. Bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya, apabila komunikasi terjadi hanya searah.
Dan ternyata kejadian ini tidak pada ayah saya sendiri, para ayah teman semasa SD atau SMP nyaris sama pembawaan di depan anak-anaknya.
Sampai saya berkesimpulan, apakah semua ayah memang dihadirkan serupa antara satu dengan yang lainnya. Â Lebih banyak diam, dan sibuk dengan pembawaan diri sedemikian rupa.
-----