Pagi di lapak ibu penjual nasi uduk, setelah seorang pembeli - perempuan paruh baya - baru saja berlalu. Ibu penjual nasi uduk, berujar dengan nada kesal setengah curcol. "Nggak usah dipikirin ya Pak, memang itu orang begitu kelakukaanya, mana ada laki-laki yang mau"
"Iya, lebay banget, padahal orang sama-sama beli" sahut pembeli lainnya
"Ooo, itu yang belum nikah itu ya" pembeli disebelahnya nyeletuk.
Saya berdiri di tengah obrolan ini, dan hendak membungkus ketan untuk sarapan. Tidak ikut nyeletuk meramaikan suasana, karena memang tidak mengenal orang dijadikan bahan obrolan. Mau tidak mau, mendengarkan obrolan seru itu -- serba salah kan, hehehe.
Meskipun tidak saban hari datang, saya relatif sering mampir membeli ketan di lapak ini. Selain nasi uduk dengan lauk lengkap dan harganya miring, lapak ini juga menjual ketan yang rasanya - di lidah saya - tiada dua (dibanding penjual ketan lain di dekat rumah).
Saya termasuk pembeli setia, dari sewaktu harga seporsi ketan hanya seribu perak. Dan sekarang naik, untuk ketan ukuran yang sama dijual duaribu rupiah.
Dulunya, si ibu juga menjual gethuk singkong seharga limaratus perak sepotong. Gara-gara ketan dan gethuk inilah, akhirnya saya menjadi pelanggan bude (begitu saya biasa menyapa).
Adalah seorang perempuan paruh baya (sekira usia 40-an), yang ngomelin bapak-bapak (usia di atas 60 th) sedang membeli gorengan. Jujur, saya sangat tidak setuju dengan sikap pembeli satu ini. Karena yang diomelin, adalah seorang kakek yang untuk alasan apapun musti dihormati.
O'ya, jadi ada kebiasaan pelanggan di lapak bude. Pelanggan yang sebagian besar sudah kenal, terbiasa mengambil sendiri. Apalagi ketika si bude sedang sibuk, melayani pembeli lain yang membungkus nasi uduk.
Maka untuk dagangan yang sudah siap ambil, seperti aneka gorengan dan ketan. Yang memang dijual satuan dan tinggal mengambil, bude mempersilakan self service.