Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikah Bukan Jaminan Bahagia?

20 Januari 2020   09:38 Diperbarui: 20 Januari 2020   09:47 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya senang, artikel di Kompasiana berjudul "Seumuranmu Dulu, Aku Sudah Nikah!" ada yang menanggapi di media sosial. Tanggapan itu berupa sebuah pernyataan, "menikah bukan jaminan bahagia" (begitu kira-kira)

Jadi begini, artikel tentang keluarga atau pernikahan atau tentang anak-anak yang saya tulis di Kompasiana, kebanyakan ada latar belakang pengalaman.

Baik pengalaman diri sendiri, atau pengalaman saudara, kerabat atau teman. Mungkin saya menuturkan tidak plek ketiplek, tetapi saya pernah merasakan atau berada di posisi tersebut. 

Biar tulisannya lebih menarik, biasanya saya imbuhi sedikit kisah, quote, kata mutiara atau apalah biar sekiranya asyik dibaca. Termasuk artikel "Seumuranmu Dulu, Aku sudah Nikah!" ada unsur pengalaman pribadi, dan beberapa teman juga mengalami.

Menyoal bahagia, menurut saya bahagia itu unik. Tidak ada takaran dan kondisi tertentu, yang dijadikan indikasi atau ukuran kebahagiaan.

Sejak diet, saya bisa makan buah atau sayur setiap hari itu saja, bahagianya minta ampun. Di akhir pekan, berhasil mengalahkan rasa malas untuk olahraga, itu adalah kategori bahagia saya selanjutnya,

Apalagi kalau anak istri ikutan makan buah atau olahraga, duh bahagia di dada ini rasanya bertambah-tambah.

Unik kan, padahal jatah makanan (baca buah atau sayur) saya nyata-nyata berkurang karena dibagi. Tetapi kenapa saya justru bahagia, untuk alasan yang hanya bisa diterima diri sendiri.

ikuta acara runner- dokpri
ikuta acara runner- dokpri
-------

Sebagai anak saya bahagia, apabila bisa mengirim jatah bulanan untuk ibu. Lebaran bisa pulang kampung dan sungkem, mengenggam tangan yang keriput tapi ngangenin itu.

Sebagai suami saya sangat bahagia, apabila bisa rutin mempersembahkan amplop gaji empat mingguan kepada istri. Atau kalau sedang ada rejeki berlebih, bisa membelikan (misal) perhiasan untuk istri.

Sebagai ayah saya pasti bahagia, ketika sebelum tenggat sudah bisa membayar SPP untuk sekolah anak-anak. Bisa membelikan tas sekolah dan sepatu di tahun ajaran baru, membawakan bekal makanan bernutrisi.

Patokan bahagia saya sebagai anak adalah berbakti, sedang sebagai kepala keluarga adalah mempersembahkan terbaik untuk istri dan anak.

Saya tidak lagi memikirkan diri sendiri, parameter kebahagiaan saya (sadar tidak sadar) bergeser. Asalkan ibu saya, istri saya, anak-anak saya bahahia, maka saya otomatis bahagia.

Meskipun untuk meraih hal tersebut (membahagiakan ibu, istri dan anak), saya harus sekuat tenaga memerangi ego pribadi.

Ya, saya tak enggan berlelah-lelah dalam tugas pencarian nafkah, sepenuh kesadaran berangkat pagi buta kemudian pulang menjelang malam.

dokpri
dokpri
Hasil dari bersusah payah saya dapatkan, diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan saya rela (misal) menunda makan, karena uang yang ada lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan istri anak.

Tersiksakah si kepala keluarga ini, mungkin sesaat si pandangan orang lain terkesan iya. Tetapi saya sangat menikmati hal tersebut, dan inilah uniknya bahagia.

Saya sungguh bahagia bisa melakukan segala pengorbanan itu, sehingga keletihan dan kesusahan tidak saya anggap sebagai sebuah penderitaan

Menikah Bukan Jaminan Bahagia ?

sumber | islamidia.com
sumber | islamidia.com
Oke, sekarang saya pengin membalik dengan pernyataan "Bujangan Bukan Jaminan Bahagia". Atau kalau mau diteruskan jadi panjang, misalnya "punya anak bukan jaminan bahagia", "punya kendaraan roda empat bukan jaminan bahagia", "punya rumah mewah bukan jaminan bahagia" dan seterusnya dan seterusnya.

Kesimpulannya adalah, bahagia itu (sekali lagi menurut saya) unik, karena tergantung setiap diri sendiri menyikapi apa yang sedang dihadapi. Menikah ada yang bisa bahagia ada yang tidak, demikian pula bujangan ada yang bahagia ada yang tidak.

Karena wujud bahagia itu abstrak, hanya diri kita sendiri yang berkuasa atas diri kita. Maka bahagia sangat mungkin diciptakan, siapapun dalam keadaan apapun.

Orang yang menikah akan bahagia, ketika dia menikmati perjalanan kehidupan pernikahan yang dilalui. Mulai dari naik dan turunnya, senang dan sedihnya, berpunya dan tidaknya, semua peristiwa dinikmati dan dilalui berdua (pasangan suami istri).

Pun sebagai bujangan juga bisa bahagia, kalau itu sebagai pilihan dan dinikmati keadaan tersebut. karena alasan bahagia beraneka rupa, tidak berbanding lurus dengan kepemilikan bendawi atau pencapaian prestasi.  

Rasa syukur, yang memungkinkan bahagia itu bisa bertumbuh. Semoga bermafaat.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun