Para ibu dan para gadis sekitar, dengan sukarela membantu memasak. Biasanya kesibukan di dapur terasa, beberapa hari sebelum hari H. Tetapi tetap ada team inti untuk memasang, terdiri dari dua tiga tukang masak profesional (biasanya ibu-ibu).
Tukang masak inti dipilih yang berpengalaman, memang sengaja dipanggil dan dibayar oleh empunya rumah. Si ibu tukang masak inti, bertanggung jawab atas kesiapan, kecukupan, dan (tentu saja) cita rasa menu untuk tamu.
Kemudian kesibukan perjaka bergeser, menjadi pelayanan (di desa saya namanya sinoman) ketika hari berlangsung pernikahan. Tenaga muda dan perkasa ini, menjadi andalan mengantar suguhan tamu. Para anak muda diberi seragam, dengan koordinator satu orang paling disegani.
Semua tetangga yang datang dan rewang (membantu) secara sukarela, tidak ada yang dibayar dengan sejumlah uang. Mereka hanya ditanggung makan dan minum, selama kesibukan acara pernikahan dilangsungkan.
Para ayah yang sudah sepuh, bertindak sebagai among tamu dan mendapat baju seragam. Baju seragam motif batik, sekaligus menjadi kenang-kenangan dari tuan rumah.
Sungguh, suasana guyub dan penuh gotong royong, benar-benar bisa dirasakan di kampung halaman. Warga bahu membahu dengan kesadaran sendiri, dilakukan dengan tulus tanpa pamrih.
Alasan Datang Kondangan Bukan karena Undangan Semata
Di kampung halaman saya (mungkin di kampung lain juga), masih berlaku (semacam) balas budi. Artinya kalau seseorang menanam budi, suatu saat akan dikembalikan budi tersebut.
Pun masalah undangan pernikahan, hal yang sama (balas budi) otomatis akan berlaku. Orang yang mendatangi hajatan, nanti pada saat punya hajat akan ganti didatangi.