Menyambut tahun baru 2020, wilayah Jabodetabek dilanda banjir. Curah hujan turun cukup lebat, dengan rentang waktu cukup panjang. Mendung  gelap nyaris seharian menggelayut, tak memberi kesempatan matahari bersinar barang sesaat.
Beberapa titik terdampak dengan cepat air meninggi, bahkan sampai menenggelamkan rumah berserta isinya. Di tempat tinggal saya tak luput dari banjir, terutama di blok B yang posisi tanah lebih rendah dari sungai.
Warga yang rumah terendam air, mengungsi di lokasi aman dengan dibantu warga yang tinggal di blok tidak terdampak. Beruntung perahu karet cepat datang, segera mengevakuasi orang tua, anak-anak, ibu hamil, ibu dan balita, serta warga yang membutuhkan bantuan cepat.
Seorang ibu sepuh menahan duka, anaknya baru saja pindah dan terhitung baru tiga hari ngontrak di Blok B. Uang sudah kadung dibayar lunas, untuk masa tinggal selama satu tahun ke depan.
"Baru saja uang dibayarkan, tunai tigapuluh juta untuk sewa kontrakan," saya mendengar jelas, ada tangis didalam kalimat si ibu.
-------
Sontak berita banjir naik di media massa mainstream, apalagi di media sosial tak kalah riuh. Banyak orang yang ikut nongol, memaparkan segala analisa dan argumen personal bak ahli di bidang cuaca dan bidang bersinggungan lingkungan.
Masing-masing (seolah) merasa paling tahu dan paling benar, sehingga debat kusir dengan mudah terjadi akibat tidak ada yang mau mengalah.
Dua kubu berseberangan seperti macan dibangunkan, masing-masing ngotot dan membenarkan kelompoknya.
Satu kubu dengan sengit dan kompak menyalahkan, dengan pilihan narasi dan kalimat mengejek yang tentu saja memicu reaksi. Kubu yang lain lantas membalas, tak terima dan membela pihak disalahkan.
Hidup menawarkan pilihan, setiap kita bebas kita memilih berada di pihak yang mana. Dan saya malas ikut-ikutan berdebat, sungguh menyayangi energi untuk hal tersebut. Dalam situasi genting seperti saat ini, bagi saya ada yang lebih penting dilakukan dibanding berdebat.
Memberi Itu Melegakan dan Melembutkan Hati
Minggu sore, mobil yang kami kendarai sampai di daerah Tajur Ciledug Tangerang. Saya bergabung sebagai relawan, bertugas menyalurkan donasi dari teman-teman Blogger.
Kegiatan yang diinisiasi salah satu Komunitas Blogger, (sementara) focus membantu sesama Blogger yang terdampak banjir awal tahun.
Saya sepakat, membantu sebaiknya dimulai dari orang yang paling dekat dan kita kenal. Selain bisa langsung komunikasi mengetahui prioritas, sumbangan tidak mubazir karena tepat sasaran dan kebutuhan.
Gerakan dimulai dari hari pertama banjir melanda, tak dinyana bersambut antusiast. Belasan juta rupiah diterima (via transfer) dari donatur, hanya dalam hitungan empat hari. Selain dalam bentuk dana, donatur juga menyumbang dalam bentuk makanan dan pakaian.
Sementara suasana medsos masih riuh, saya sengaja iseng nongol di beberapa kolom komentar yang terjadi perdebatan. Eflyer perihal donasi, saya posting dan mengajak pemilik status dan yang komentar berdonasi.
Sependek pengamatan saya, setelah direkap pemberi donasi belum ada nama-nama orang yang memilih tarik urat dan ribut.
Sangat disayangkan, mereka senang berargumen kalau hanya berhenti di tataran perdebatan. Harusnya diimbangi dengan bergegas bergerak, tak segan melakukan hal kecil dan menjadi bagian dari solusi.
------
Rasulullah shalllalahu alaihi wa'sallam bersabda "Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati." Â [HR. Tirmidzi 2/50, Dishahihkan Syaikh Al-Albani]
Kami berempat, sore itu mendatangi tiga titik di kawasan Ciledug. Melihat secara langsung kondisi teman yang kami kenal, menerbitkan perasaan prihatin dan empati.Â
Jalanan di sepanjang rumah warga, penuh dengan aneka barang dan perabot dalam kondisi kotor dan basah. Jalanan lembab berselimut lumpur tebal, sementara gerimis masih saja berlangsung.
Ada rumah terendam sampai 2,5 meter, saya melihat bekas garis air menempel di tembok teras. Sebagian besar barang siap dibuang, apalagi peralatan elektronik semua antre menjadi rongsokan.
Kami datang mengantarkan makanan siap santap, sabun cuci, cairan pembersih lantai, obat-obatan dan beberapa keperluan barang lain. Melihat senyum merekah dan ucapan terimakasih tulus, menjalarkan perasaan lega dan plong.
Tertawa yang terlalu berlebihan, selain mengeraskan hati akan menjadikan diri bebal dengan penderitaan sesama. Dan sekarang adalah waktu yang lepat, untuk berbagai dan melembutkan hati.
Korban terdampak banjir, masih membutuhkan uluran tangan kita. Yakinlah, memberi itu melegakan dan melembutkan hati. -- semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H