"Percuma mengangkat budaya jika kita tak berbudaya" Yongki Ongestu - Sutradara
Sebuah sore, di bilangan Alam Sutera Tangerang Selatan. Suasana terasa hangat, ketika saya terlibat dalam bincang santai seputar film Detak.  Jurnalis dan Blogger, bersua dengan Ibu Aryanna Yuris (Produser) dan  Bapak Yongki Ongestu (Sutradara).
Jujur, Â sejak kali pertama menginjakkan kaki. Saya merasa akan betah berlama-lama, berada di ruangan kantor ini. Â Di lantai dua, kami duduk di kursi kotak berbalut kain hitam. Kursi panjang tanpa sandaran ( di desa saya namanya lincak), menjadi penopang minuman hangat dan snack. Semua yang ada di ruangan, mendukung untuk terciptanya suasana ngobrol yang gayeng dan hangat.
------
Persiapan dilakukan cukup matang, sebelum produksi dilakukan survey ke daerah asal tarian khas ini. Mendatangi dan mewawancarai praktisi, seniman tari dan tokoh masyarakat setempat. Salah satunya adalah Pak Kendar, seorang pemain calung senior, yang mengatakan bahwa tarian lengger digelar untuk merayakan panen.
Tak ketinggalan Refal Hady ( pemeran dr. Jati), belajar metode bedah jahit dan memeriksa pasien. Untuk perannya sebagai dokter ahli bedah toraks kardiovaskular. Melakukan transformasi fisik, dengan pemasangan wig setiap take.
Warga setempat mulai hilang, sejak kedatangan seorang dokter dari kota. Dibalik penampilan yang sopan dan pendiam, ternyata dr. Jati adalah seorang psikopat. Sukma, calon penari lengger. Warga setempat mempercayai, bahwa si penari yang bisa menjauhkan desa dari malapetaka.
Apakah kepercayaan warga, dapat menyudahi hilangnya penduduk desa. Adakah sesuatu bisa dilakukan, untuk menghentikan aksi dokter aneh ?
Men"Detak" kan Budaya dalam Film Bertema Budaya
Menyoal budaya, sebenarnya tidak perlu bicara yang jauh-jauh dulu. Apa yang kita lakukan di keseharian, sebenarnya adalah bagian dari budaya itu sendiri. Membuang sampah pada tempatnya, berempati kepada orang lain, sopan santun dan menghormati yang lebih tua dan hal hal yang tampak sepele lainnya. Â Adalah contoh kecil berbudaya, yang tidak lepas dari keseharian.
Saya cukup antusias mendengar, ketika Ibu Aryanna menyampaikan, bahwa selama shoting seluruh tim dan cast dibagikan tumbler. Strategi ini, adalah langkah jitu mengurangi konsumsi air minum dalam kemasan (kemasan yang sekali pakai langsung buang).
Atas effort ini, otak matematika saya seketika berputar putar. Merinci berapa limbah gelas plastik, limbah botol plastik, limbah styrofoam dapat dikurangi. Dengan rentang waktu shoting selama 16 hari, dan melibatkan sekira 70 personel yang bekerja. Bayangkan, bisa berapa ton sampah dinihilkan.
Aturan tentang kebersihan terbilang cukup ketat, berlaku bagi semua yang terlibat dalam produksi film Detak. Yaitu akan dikenakan denda, apabila di sekitarnya terlihat sampah dan tidak diambil.Â
Dari Pekerja Kreatif untuk Pekerja Kreatif
Ibu Aryanna dan Pak Yongki percaya, banyak potensi lokal yang bisa digerakkan dalam produksi film Detak. Keputusan keren ini, selain memberi kesempatan seniman daerah unjuk gigi. Akan terjadi penyebaran ekonomi kreatif, serta menumbuh suburkan potensi potensi lokal.
Film Detak, adalah pengejawantahan perpaduan seni modern dan seni tradisional. Yaitu mengangkat tentang tari lengger dan pemain calung tradisional, agar dikenal masyarakat lebih luas di tengah masyarakat. Jujur nih, saya sendiri juga baru mendengar nama tarian dan musik tradisonal Banyumas ini.
Lalu, kapan film Detak tayang di bioskop? Tunggu kabar selanjutnya ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H