Saya yakin, terutama di kantor swasta bos pasti punya privilage. Mereka para founder atau owner, yang telah susah payah merintis usaha dari nol hingga bertahan dan bertumbuh. Dampak dari kerja dan upaya keras mereka, telah membuahkan hasil yang kasat mata tampak di hadapan.
Sangat wajar, apabila mereka mendapatkan keistimewaan- keistimewaan itu. Merasakan penghasilan dengan jumlah bilangan besar, mendapatkan kenyamanan serta prioritas dan tentunya fasilitas.
Menanggapi gerutuan teman yang karyawan, saya anggap sebagi sesuatu yang sangat wajar. Tetapi kalau ingin menyamakan sangat tidak bisa, ibarat pungguk merindukan bulan.
Karyawan dengan kontribusi terbatas, tidak turut merasakan jatuh bangun saat merintis usaha. Tanggung jawab sebatas lingkup tugas, tidak seberat para pemilik dan pendirinya. Bagian yang didapatkan tentu sudah disepakati, dan dituangkan dalam perjanjian kerjasama.
Sembari mendengar ucapan teman ini, saya kepikiran apakah para freelancer atau pekerja lepas (termasuk saya di dalamnya) perlu ikut cuti dan liburan panjang. Kami yang notabene bos bagi diri sendiri, bertanggung jawab secara lepas kepada pemberi job. Perlukah, merencanakan cuti dan liburan.
Saatnya Liburan Panjang, Perlukah Freelancer Ikut-ikutan?
Sebagai freelancer saya sangat diuntungkan, terutama dalam hal pengaturan waktu. Saya terbiasa mengerjakan tugas, kapanpun dan dimanapun asal tidak melewati tenggat disepakati. Hal ini saya rasakan, sejak awal memutuskan resign hampir sewindu yang lalu.
Tetapi di awal menjadi freelancer, saya sempat disergap perasaan gagap dan kagok. Terutama di hari kerja, ketika jam sibuk berangkat kerja tengah berlangsung.
"Kok belum berangkat ngantor Pak," pertanyaan tetangga sempat mengusik telinga. Tetapi semakin lama semakin terbiasa, Â saya bisa menukas pertanyaan dengan jawaban yang elegan tanpa nada tersinggung. " Belum Pak, berangkatnya nanti jam sepuluh"
-----