Kebutuhan utama, menjadi harapan setiap penganten baru (biasanya) adalah rumah. Dulu, memasuki tahun ketiga usia pernikahan, saya dan istri mulai rajin berburu tempat tinggal.
Baik rumah baru dibangun maupun rumah lama, baik di komplek perumahan ataupun di kampung sekalipun. Yang penting di wilayah Tangerang Selatan, kami pasti bela-belain datang dan melihat secara langsung.
Alasan memilih daerah Tangsel sangat sederhana, (almarhumah) ibu mertua tidak ingin kami berjauhan. Kalau sewaktu-waktu kangen bisa berkunjung, kalau ada perlu setiap saat tidak terkendala jarak. Di kemudian hari harapan ini terwujud, (terutama) istri rutin ke rumah ibu sepekan sekali.
"Lama nggak lihat kamu, mama kangen"suara eyang uti terucap, ketika si anak mantu muncul setelah dua atau tiga minggu tidak tampak. Pada saat eyang uti berpulang, kami anak-anaknya yang tinggal berdekatan bisa bergegas dan mendampingi -- al fatihah, semoga almarhumah mendapat tempat terbaik di sisi-NYA, amin.
------
Informasi rumah dijual, bisa saya cari dan dapati dari mana saja. Paling kerap adalah googling, kemudian bisa info dari teman atau kenalan, dari pameran perumahan atau melalui spanduk dipasang di pinggir jalan. Dengan roda dua, kami (ayah, ibu dan balita) mendatangi lokasi.Â
Biasanya berangkat saat matahari belum terlalu terik (Pagi atau jelang senja), si ayah menyetir di depan, anak lanang (jelang tiga tahun) duduk di tengah dan istri di jok belakang.
Tas kain ukuran sedang, tidak lupa dicangklong di besi sangkutan bagian samping depan motor. Tas di dalamnya ada tumbler isi air putih, botol susu dan biskuit atau makanan kecil lainnya. Kadang bawaan ini berebut tempat dengan kaki, karena terjuntai menghalangi persneleng untuk mengoper gigi motor. Â
Daerah Pondok Aren, Pondok Kacang, sekitaran stasiun Sudimara, Jombang, Serua, dan wilayah menuju BSD satu persatu kami telusuri. Bergeser ke daerah Kedaung, seputaran perempatan Gaplek, Pondok Cabe, Cipayung, beberapa perumahan di Raya Parung tak luput kami sambangi.Â
Nyaris sampai sudut-sudut Ciputat dan sekitarnya, tak luput dari "jajahan" kedua kaki kami.
Â
"Itu, tetangganya bu Sani, rumahnya dijual" ujar ibu mertua jelang maghrib. Â Saya cukup familiar dengan nama yang disebut, beliau adalah teman ibu di pengajian. Kerap nyamperin, saat mengaji atau berangkat ke majelis taklim.Â
Maka selepas sholat maghrib, tanpa pikir panjang kami bergegas ke lokasi dimaksud.
Membeli Rumah Lama, Kenapa TidakÂ
Sebenarnya ini masalah  selera, kebetulan target saya (kala itu) yang penting punya rumah. Maka seperti di awal tulisan, saya tidak terlalu pilah dan pilih soal kriteria spesifik rumah . Asal sreg di hati, mau rumah baru atau lama, mau di komplek perumahan atau di kampung, bagi saya dan istri tidak masalah.
Ketika langit mulai disapu gelap, saya bersama istri (anak dititip) berangkat ke alamat rumah disampaikan ibu mertua. Sebuah perumahan dibangun tahun 80-an, bisa ditilik dari model sebagian besar bangunan yang tampak model lama.
Pagar depan macet susah dibuka, atap triplek sudah nglintek, warna cat tembok kusam, sebagian besar ubin sudah lepas dari tempatnya. Yang bikin saya agak jijik, adalah kamar mandi dan dapur yang berantakan dan pengap.
Tapi ada satu yang membuat saya agak lega, lazimnya ukuran tanah di perumahan lama lumayan luas. Kalau perumahan kelas menengah jaman sekarang, ukuran tanah 90 meter peregi atau kurang.Â
Untuk ukuran tanah perumahan lama kelas menengah, Â di kisaran seratus meter persegi atau bahkan lebih dari seratus.
Malam itu kami tidak langsung memutuskan, minta waktu berpikir dan berunding. Kalau tertarik kami akan kabari, bisa jadi kembali untuk kali kedua melanjutkan obrolan lebih serius. Dan setelah ngobrol dengan ayah dan ibu mertua, akhirnya kami teryakinkan dengan rumah ini.
------
Singkat cerita, terjadi deal dan kami sepakat membeli rumah dari pemiliknya. Setelah penghuni lama pindah, rumah sempat kosong sekira lima bulanan. Kami masih tinggal di rumah kontrakan, seminggu sekali saya sambangi untuk ngecat dan bersih-bersih.Â
Sisa tabungan yang ada, dgunakan untuk memasang ubin dan membenahi kamar mandi serta dapur supaya enak dilihat. Â
Setelah membeli rumah kemudian renovasi sedikit, uang di tabungan ludes tinggal ratusan ribu saja. Kami bertahan dengan sedikit uang, sampai akhir bulan saatnya gajian.
 Â
Tinggal di perumahan lama ada enaknya (dan tidaknya), lingkungan sudah terbentuk dari dulu. Warga terdiri dari ragam usia, ada yang sudah sepuh (seumuran ayah saya), sedikit yang seumuran saya atau istri.
Saya musti pintar membawa diri, aktif di kegiatan warga, Â sebaiknya lebih banyak diam mendengarkan. Sebagai pendatang baru, (menurut saya) tak elok terlalu menonjolkan diri.
Saya yakin, Â tinggal di perumahan baru-pun, pasti ada enak dan tidaknya. Teringat nasehat ibu di kampung, bahwa kunci hidup ini adalah bersyukur dan menikmati proses diberikan kehidupan.Â
Di penghujung artikel, saya haturkan doa, semoga Kompasianer's dimudahkan rejeki, untuk membeli rumah- Amin. Semoga bermanfaat.