Â
"Itu, tetangganya bu Sani, rumahnya dijual" ujar ibu mertua jelang maghrib. Â Saya cukup familiar dengan nama yang disebut, beliau adalah teman ibu di pengajian. Kerap nyamperin, saat mengaji atau berangkat ke majelis taklim.Â
Maka selepas sholat maghrib, tanpa pikir panjang kami bergegas ke lokasi dimaksud.
Membeli Rumah Lama, Kenapa TidakÂ
Sebenarnya ini masalah  selera, kebetulan target saya (kala itu) yang penting punya rumah. Maka seperti di awal tulisan, saya tidak terlalu pilah dan pilih soal kriteria spesifik rumah . Asal sreg di hati, mau rumah baru atau lama, mau di komplek perumahan atau di kampung, bagi saya dan istri tidak masalah.
Ketika langit mulai disapu gelap, saya bersama istri (anak dititip) berangkat ke alamat rumah disampaikan ibu mertua. Sebuah perumahan dibangun tahun 80-an, bisa ditilik dari model sebagian besar bangunan yang tampak model lama.
Pagar depan macet susah dibuka, atap triplek sudah nglintek, warna cat tembok kusam, sebagian besar ubin sudah lepas dari tempatnya. Yang bikin saya agak jijik, adalah kamar mandi dan dapur yang berantakan dan pengap.
Tapi ada satu yang membuat saya agak lega, lazimnya ukuran tanah di perumahan lama lumayan luas. Kalau perumahan kelas menengah jaman sekarang, ukuran tanah 90 meter peregi atau kurang.Â
Untuk ukuran tanah perumahan lama kelas menengah, Â di kisaran seratus meter persegi atau bahkan lebih dari seratus.
Malam itu kami tidak langsung memutuskan, minta waktu berpikir dan berunding. Kalau tertarik kami akan kabari, bisa jadi kembali untuk kali kedua melanjutkan obrolan lebih serius. Dan setelah ngobrol dengan ayah dan ibu mertua, akhirnya kami teryakinkan dengan rumah ini.
------