Coba Kompasianer perhatikan, Tab "Terbaru" di  halaman depan Kompasiana. Kalau diklik  kita bisa melihat,  setiap menit bermunculan puluhan artikel anyar. Artikel dengan aneka tema dari berbagai genre, dengan tema yang samapun  bisa beda sudut pandang. Tentu hal ini sangat wajar, mengingat Kompasiana adalah platform blog yang terbuka untuk umum.
Sebagai "fasilitas umum", Kompasiana bisa diakses oleh siapapun, kapanpun, dari manapun dan di manapun. Tetapi dengan catatan, asal ada jaringan internet (dan ssst, kuota, hehehe) -- namanya juga media online.
Saya mengumpamakan, yang ada di laman Kompasiana ibarat miniatur kehidupan. Tampil beraneka artikel sesuai minat si penulis, setiap orang bebas dan bisa menjadi dirinya sendiri  melalui ulasannya (yang penting tidak melanggar S&K ). Lagi-lagi karena Kompasiana, tidak mengkhususkan sebagai paltaform blog dengan jenis artikel genre tertentu.Â
Semakin banyak Kompasianer menulis, semakin banyak ide dan gagasan yang muncul di halaman Kompasiana. Yang suka menulis politik dipersilakan --konon politik paling banyak viewer-nya--, yang gemar ulasan kuliner juga ada, ada juga kompasianer focus di tema ekonomi dan keuangan.  Atau bisa juga mereview film dan musik, tersedia juga kanal Humaniora, olahraga, gaya hidup dan sebagainya. Semua jenis artikel dipersilakan, justru keberagaman yang membuat Kompasiana banyak peminat dan diminati.Â
Dari sekian ratus ribu kompasianer, misalnya seribu menulis tema politik (seribu itu banyak lho), maka berapa kemungkinan tulisan kita dibaca dan diingat pembaca. Setiap penulis tema politik, punya sudut pandang dan diksinya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi tantangan Kompasianer (yang mengisi kanal politik), menampilkan diri dengan tulisan berbeda meskipun tema dan genrenya sama.Â
Saya yakin, semua Kompasianer pintar (buktinya piawai menulis), tetapi pintar saja tidak cukup !
Ngacung, siapa tidak suka atau belum pernah makan pecel Madiun. Makanan yang terdiri dari aneka sayur-sayuran, sangat saya gemari dari dulu apalagi setelah diet tiga tahun silam. Pecel yang asalnya dari kota penghasil brem ini, terbilang sangat mudah didapat dan dibeli.
Penjualnya ada di mana-mana, mulai dari penjual yang memakai gerobak dorong, ada yang menggelar dagangan di warung semi permanen. Saya pernah menemui pagi saat berangkat kerja, ibu penjual dengan tenggoknya duduk di trotoar depan Ratu Plaza di daerah Bundaran Senayan .
Dari sekian banyak penjual pecel, ada satu yang menjadi langganan saya, Â yaitu penjual dengan gerobak dorong yang mangkal di pelataran ruko dekat pasar kecil Bintaro- Tangsel. Budhe (saya biasa memanggil), saya temukan sejak beberapa hari setelah menjadi pengantin baru.
Minggu pagi ketika mengantar istri belanja, sambil menunggu saya sarapan pecel. Citarasa khas mengingatkan saya pada kampung halaman, dan harga dibandrol relatif murmer (makanya banyak pelanggan).
Tak perlu menunggu lama, ruko yang sempat kosong berganti penyewa. Tampak plang baru terpasang, bertuliskan Warung ManJa (menjual masakan Manado Jawa). Rumah makan dengan konsep self service, konsumen dipersilakan mengambil sepuasnya dan dihitung satu harga.
Pemilik Rumah makan ManJa  terbilang pintar dan kreatif, rutin memasang poster paket murmer bergantian pada hari tertentu . Tak pelak, strategi keren ini disambut antusias pelanggan.
Saya yang setiap minggu pagi biasa makan di pecel Budhe, lama-lama tergoda untuk mencoba di warung ManJa. Meskipun untuk membeli, Â harus antre karena banyak pelanggan lain. Â Ternyata tidak saya sendiri, beberapa pelanggan pecel Budhe tergiur promosi di warung baru.
Sejak berpindah hati, setiap minggu pagi saya hanya melintas di depan gerobak pecel itu. Tampak Budhe lebih banyak duduk dan ngobrol, dibanding sibuk melayani pembeli seperti sebelumnya -- tega banget saya, hiks. Â
Prediksi (jahat) saya, pecel Budhe tidak bakal bertahan lama kalau tidak membuat strategi atau terobosan baru. Hingga suatu saat kami pindah rumah, istri mulai jarang minta diantar belanja ke pasar Bintaro. Karena setiap pagi, ada tukang sayur yang nyamperin tak jauh dari rumah.
Pintar (Menulis) Saja Tidak Cukup.
"Beli pecel Madiun ke Bude yuk," ajak saya pagi itu. Sejak kami menempati rumah sendiri, hampir satu tahun lebih tidak belanja ke pasar Bintaro. Kalaupun pengin membeli pecel, ada penjual  yang warungnya di dekat rumah .Â
Pagi itu ide saya bersambut, istri rupanya juga kangen belanja di pasar pojok jalan itu. Sekalian si ayah mengajak anak jalan-jalan, mumpung libur sekolah. Bisa pulang agak siang untuk muter-muter, biasanya lalu lintas minggu pagi relatif sepi.Â
Sesampai di tempat, saya melihat bude sibuk melayani pembeli. Masih di lokasi yang sama dengan gerobak, nyaris tidak ada yang berubah termasuk menu dijual. Saya memesan seporsi, dengan lauk pauk saya pilih dan (lagi-lagi) harganya tak terlalu berbeda dengan dulu.
Tapi ada satu hal yang berbeda, ketika menengok ke belakang, ruko  Warung ManJa telah berubah menjadi warung ayam bakar dengan pemilik berbeda.  Saya tidak berusaha mencari tahu, mengapa warung ManJa akhirnya tutup. Bisa saja, pindah ke tempat yang lebih besar karena ramai atau alasan lainnya.Â
Tetapi saya hanya ingin focus, pada si Budhe yang (kalau boleh dikatakan) survive bahkan setelah ruko tiga kali berganti penyewa. Â Dua kata "Tekun dan Konsisten", tiba-tiba mampir di benak saya kala itu. Â Budhe (mungkin) tidak pintar merancang strategi, buktinya tidak berkreasi dengan paket murmer seperti warung ManJa.Â
Tetapi sikap tekun dan konsistensi dipegang budhe, membuatnya bisa bertahan meski digempur persaingan (bahkan dengan orang pintar dan bermodal)
Sikap konsisten dan ketekunan, tak semua orang bisa menjalankan. Sekelas Christine Hakim saja, dalam sebuah wawancara mengakui pernah ingin mundur dan berhenti dari dunia perfilman. Menurut pemeran Tjoet Nya' Dien ini, sikap konsisten itu wajib dipegang karena di dalamnya terdapat ketangguhan.
Bagi orang yang mudah tersulut euforia dan atau mudah bosan, perlu upaya ekstra untuk belajar memegang sikap konsisten dan tekun. Karena untuk menjalankannya, musti menghadapi ujian berupa tawaran di tempat lain yang sekilas lebih menjanjikan.
Pun dengan menulis, sangat perlu dihadirkan sikap konsisten dan ketekunan. Karena penulis pintar pasti banyak jumlahnya, tetapi yang (bersedia) konsisten dan tekun mungkin tidak banyak. Konsisten serta ketekunan, hanya bisa dibuktikan oleh waktu.Â
Ternyata, Pintar (menulis) saja tidak cukup !Â
Semoga Bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H