Tak perlu menunggu lama, ruko yang sempat kosong berganti penyewa. Tampak plang baru terpasang, bertuliskan Warung ManJa (menjual masakan Manado Jawa). Rumah makan dengan konsep self service, konsumen dipersilakan mengambil sepuasnya dan dihitung satu harga.
Pemilik Rumah makan ManJa  terbilang pintar dan kreatif, rutin memasang poster paket murmer bergantian pada hari tertentu . Tak pelak, strategi keren ini disambut antusias pelanggan.
Saya yang setiap minggu pagi biasa makan di pecel Budhe, lama-lama tergoda untuk mencoba di warung ManJa. Meskipun untuk membeli, Â harus antre karena banyak pelanggan lain. Â Ternyata tidak saya sendiri, beberapa pelanggan pecel Budhe tergiur promosi di warung baru.
Sejak berpindah hati, setiap minggu pagi saya hanya melintas di depan gerobak pecel itu. Tampak Budhe lebih banyak duduk dan ngobrol, dibanding sibuk melayani pembeli seperti sebelumnya -- tega banget saya, hiks. Â
Prediksi (jahat) saya, pecel Budhe tidak bakal bertahan lama kalau tidak membuat strategi atau terobosan baru. Hingga suatu saat kami pindah rumah, istri mulai jarang minta diantar belanja ke pasar Bintaro. Karena setiap pagi, ada tukang sayur yang nyamperin tak jauh dari rumah.
Pintar (Menulis) Saja Tidak Cukup.
"Beli pecel Madiun ke Bude yuk," ajak saya pagi itu. Sejak kami menempati rumah sendiri, hampir satu tahun lebih tidak belanja ke pasar Bintaro. Kalaupun pengin membeli pecel, ada penjual  yang warungnya di dekat rumah .Â
Pagi itu ide saya bersambut, istri rupanya juga kangen belanja di pasar pojok jalan itu. Sekalian si ayah mengajak anak jalan-jalan, mumpung libur sekolah. Bisa pulang agak siang untuk muter-muter, biasanya lalu lintas minggu pagi relatif sepi.Â
Sesampai di tempat, saya melihat bude sibuk melayani pembeli. Masih di lokasi yang sama dengan gerobak, nyaris tidak ada yang berubah termasuk menu dijual. Saya memesan seporsi, dengan lauk pauk saya pilih dan (lagi-lagi) harganya tak terlalu berbeda dengan dulu.
Tapi ada satu hal yang berbeda, ketika menengok ke belakang, ruko  Warung ManJa telah berubah menjadi warung ayam bakar dengan pemilik berbeda.  Saya tidak berusaha mencari tahu, mengapa warung ManJa akhirnya tutup. Bisa saja, pindah ke tempat yang lebih besar karena ramai atau alasan lainnya.Â
Tetapi saya hanya ingin focus, pada si Budhe yang (kalau boleh dikatakan) survive bahkan setelah ruko tiga kali berganti penyewa. Â Dua kata "Tekun dan Konsisten", tiba-tiba mampir di benak saya kala itu. Â Budhe (mungkin) tidak pintar merancang strategi, buktinya tidak berkreasi dengan paket murmer seperti warung ManJa.Â