Setiap berbincang dengan orang jadul (baca ; tak akrab teknologi), saya merasakan sebuah nilai yang dipegang kukuh. Nilai yang (mungkin) kurang populer di masa sekarang, mulai bias di era generasi saya atau generasi di bawah saya (Milenials). Kerap kali saya dibuat terkesan, sekaligus tumbuh rasa malu pada diri sendiri.
Yaitu "Konsistensi" atau "Ketekunan", nilai yang (bisa jadi) jarang setiap orang mau menjalankannya dengan runut. Adalah Bu Oyo, ibu pemilik usaha kecil skala rumahan manisan pala. Beliau adalah satu diantara sedikit orang, yang bersetia dengan apa yang telah dijalani puluhan tahun.
----
Cuaca panas di daerah Dramaga Bogor - Jawa Barat, sama sekali tak menyurutkan semangat rekan  Kompasianer's, yang tergabung dalam event Liner KPK (Liputan Kuliner -- Kompasianer Penggila Kuliner). Tujuan kami terik siang itu sudah jelas, yaitu menuju rumah Bu Oyo yang ada di perkampungan belakang Pasar Dramaga.
Posisi rumah kami tuju agak menjorok masuk, sehingga kendaraan roda empat kami pesan melalui aplikasi, kesulitan mengantar persis sampai di depan gang. Tetapi tidak masalah, toh kamii bisa jalan kaki dan tidak sampai limapuluh meter.
Melihat sikap ibu usia jelang 60-an ini, saya jadi ingat dengan ibu saya di kampung, yang separuh lebih dari hidupnya untuk berdagang di pasar. Tak terbersit sedikitpun niat pindah profesi, meski hidupnya begitu begitu saja sampai usia tuanya.
Alasan Bu Oyo bertahan dengan manisan pala, karena tidak punya keahlian lain (untuk kegiatan ekonomi) selain membuat manisan pala. Sikap atas konsistensi bu Oyo patut kita apresiasi, tetapi semestinya diimbuhi dengan aspek lain, misalnya promosi dan tehnik pemasaran yang tepat.
Apabila tiga hal (konsisten, promosi, pemasan) ini disatukan, saya yakin manisan pala buatan bu Oyo bisa berkembang dengan baik. dan bisa saja, satu dari lima anak bu Oyo tertarik meneruskan usaha turun temurun, yang dirintis sejak 79 tahun silam.
Proses Pembuatan Manisan Pala
Setidaknya membutuhkan waktu sekira seminggu, untuk menyulap buah pala mentah menjadi manisan pala siap dikonsumsi dan dipasarkan. Mula mula buah pala mentah, direndam dengan air garam selama tiga hari ( dari buah pala masih ada kulitnya kemudian dikupas dan dipisahkan bijinya).
Setelah buah pala diangkat dari air garam rendaman dan ditiriskan, kemudian dibagi menjadi dua bagian sesuai kebutuhan (dibuat manisan pala kering dan manisan pala basah).
Calon buah pala yang dibuat manisan pala kering, daging buah pala diiris berbentuk seperti bunga (diiris membentuk kelopak). Sementara buah paka yang dibuat manisan pala basah, daging buah pala dipotong dua dengan bentuk lebih simple (ada di gambar).
Sementara untuk manisan pala basah, setelah diiris sedemikian rupa selanjutnya difermentasi dengan air sirup (air gula) hingga meresap. Untuk manisan pala basah, bu Oyo hanya membuat satu warna yaitu warna asli buah pala.
Untuk harga pasaran, bu Oyo memasang harga Rp.35 ribu/ kg manisan pala kering, dan Rp.30ribu/kg untuk manisan pala basah. Untuk eceran ukuran kecil, bu Oyo membuat bungkusan seberat  250 gram diharga Rp. 10ribu.
Manisan pala kering dikemas, bisa bertahan hingga satu tahun-an, sementara untuk manisan pala basah masih layak konsusmsi hingga enam bulan kedepan. Â Bu Oyo menjual manisan pala tanpa merek, karena reseller yang akan mengemas ulang disertai label merek.
Hanya satu yang terbersit di benak saya, bagaimana nasib manisan pala selepas bu Oyo. Kalau tidak ada inovasi, bisa-bisa manisan pala akan kalah bersaing dengan panganan lainnya.
Saya pikir butuh perhatian khusus dari pemerintah, agar manisan pala tidak layu sebelum berkembang. Sejauh ini bu Oyo mengakui, dari pemerintah pernah memberi bantuan berupa peralatan. Sedangkan bantuan seperti pelatihan atau dana, belum pernah diterima bu Oyo.
Manisan pala adalah cerminan dari sebuah ketekunan -- salam KPK, We Eat We Write.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H