Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengatasi Rasa Bosan pada Anak yang Sedang Mondok

2 November 2019   10:39 Diperbarui: 2 November 2019   11:12 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedari awal mengirim anak ke Pondok, saya dan istri sudah siap dengan konsekwensi bakal dihadapi. Baik konskwensi dari sisi orangtua, maupun dari sisi anak. Dan ternyata memang benar, kejadian demi kejadian silih berganti menghampiri.

Tahun ini, terhitung tahun kedua anak menuntut ilmu di Pondok. Masih terbilang awal memang, tapi setidaknya aneka masalah mulai bermunculan. Jatuh bangun kami menghadapi dan berusaha menyelesaikan, sembari meyakinkan bahwa semua (masalah) demi kebaikan diri sendiri.

Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, saya pengin menekankan bahwa dunia pondok (bagi saya) ibarat miniatur hidup sebenarnya. 

Stigma bahwa anak di pondok (dijamin)  alim dan santun, tidak sepenuhnya benar. Anak yang masuk Pondok sama seperti anak di sekolah umum, mereka membawa karakter dan kebiasaan masing-masing dari rumah.

Jadi meskipun di Pondok, jangan kaget kalau menemui anak yang susah diatur, ada anak yang jail dan bicara kasar atau kotor, ada juga anak yang suka usil, serta keunikan-keunikan sifat lainnya layaknya anak-anak. 

Besar harapan para orangtua, setelah anak mondok berubah menjadi anak soleh dan cerdas- Amiin.

Pada dasarnya semuanya situasi sangat wajar, dan kita akhirnya  memaklumi dengan mengatakan "ya, namanya juga anak-anak".

-----

dokpri
dokpri
Mula-mula tinggal di Pondok, anak saya berhadapan dengan masalah perudungan atau bully. Mungkin ayah dan ibu lain (yang anaknya di Pondok), juga menghadapi hal yang serupa. Yang dijadikan bahan bullyan, kala itu adalah masalah fisik dan setelah mereda pembulian bergerser ke masalah kebiasaan keseharian.

Mental anak (dan ayah ibunya tentunya) mulai ditempa pada masa ini, kami cukup dibuat kaget mendapati kenyataan ini. Saya dan istri banyak berdiskusi dengan ustad asrama, untuk mencari jalan keluar terbaik. Saking seringnya japrian, lama kelamaan kami menjadi akrab dengan sang ustad sampai sekarang --  ternyata ada juga hikmahnya hehehe.

Kalau tidak kuat dengan ujian di awal mondok, bisa-bisa anak atau orangtua berpkir atau memutuskan mundur. Ada satu anak, kala itu belum genap satu semester memutuskan tidak melanjutkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun