Sedari awal mengirim anak ke Pondok, saya dan istri sudah siap dengan konsekwensi bakal dihadapi. Baik konskwensi dari sisi orangtua, maupun dari sisi anak. Dan ternyata memang benar, kejadian demi kejadian silih berganti menghampiri.
Tahun ini, terhitung tahun kedua anak menuntut ilmu di Pondok. Masih terbilang awal memang, tapi setidaknya aneka masalah mulai bermunculan. Jatuh bangun kami menghadapi dan berusaha menyelesaikan, sembari meyakinkan bahwa semua (masalah) demi kebaikan diri sendiri.
Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, saya pengin menekankan bahwa dunia pondok (bagi saya) ibarat miniatur hidup sebenarnya.Â
Stigma bahwa anak di pondok (dijamin) Â alim dan santun, tidak sepenuhnya benar. Anak yang masuk Pondok sama seperti anak di sekolah umum, mereka membawa karakter dan kebiasaan masing-masing dari rumah.
Jadi meskipun di Pondok, jangan kaget kalau menemui anak yang susah diatur, ada anak yang jail dan bicara kasar atau kotor, ada juga anak yang suka usil, serta keunikan-keunikan sifat lainnya layaknya anak-anak.Â
Besar harapan para orangtua, setelah anak mondok berubah menjadi anak soleh dan cerdas- Amiin.
Pada dasarnya semuanya situasi sangat wajar, dan kita akhirnya  memaklumi dengan mengatakan "ya, namanya juga anak-anak".
-----
Mental anak (dan ayah ibunya tentunya) mulai ditempa pada masa ini, kami cukup dibuat kaget mendapati kenyataan ini. Saya dan istri banyak berdiskusi dengan ustad asrama, untuk mencari jalan keluar terbaik. Saking seringnya japrian, lama kelamaan kami menjadi akrab dengan sang ustad sampai sekarang -- Â ternyata ada juga hikmahnya hehehe.
Kalau tidak kuat dengan ujian di awal mondok, bisa-bisa anak atau orangtua berpkir atau memutuskan mundur. Ada satu anak, kala itu belum genap satu semester memutuskan tidak melanjutkan.Â