Terlepas dari  banyak kekurangan, saya salut dan kagum dengan pernikahan (alm) ayah dan ibu. Pernikahan yang terbukti langgeng, terpisah karena sang suami berpulang. Pernikahan sekali seumur hidup, saya yakin menjadi cita-cita setiap pasangan.
Pernikahan langgeng, bukan sebuah pernikahan berjalan tanpa gejolak atau permasalahan. Karena mustahil dua kepala berbeda isi, tidak pernah terjadi koflik atau perbedaan.
Tetapi bukankah sebuah pernikahan justru teruji, ketika batu kerikil dan duri di sepanjang perjalanan berhasil terlewati. Pernikahan justru akan terkuatkan, ketika pasangan suami istri berhasil melalui panas hujan badai dan segala cuaca kehidupan.
Saya menjadi saksinya, bagaimana ibu memperlihatkan rasa kesal kepada sang suami. Satu malam ibu nyamperin ayah ke tempat bermain catur, memaksa ayah untuk bergegas pulang. Â Kejadian malam itu ternyata ada buntutny, pada pagi hari Ibu menangis histeris karena dibakar api cemburu.
Demikian pula ayah, Â yang tampak jengkel dan kewalahan menghadapi ibu yang keras kepala dan tidak sabaran. Meski akhirnya ayah selalu mengalah, atau menjadi pelerai apabila ibu perang mulut dengan nenek atau anaknya (biasnya si sulung) .
Tapi sepanas apapun tensi tengah berkobar, tak sampai dua hari akan padam dengan sendirinya. Â Salah satu atau keduanya menyadari, bahwa mengalah atau mengakui kesalahan, adalah cara paling jitu meredam amarah.
Begitulah, satu demi satu masalah pergi dan menghampiri. Mereka menghadapi dan menyelesaikan sebisanya, dengan tetap memegang komitmen untuk tetap bersama-sama. Â Dan nyatanya (sekira) 48 tahun perjalanan dilalui bersama, hingga ayahanda menghembuskan nafas terakhir.
Perihal kekurangan dan kesalahan yang dimiliki almarhum, dengan sendirinya dimaklumi namanya juga manusia. Semua kekhilafan itu terkubur, dengan kenangan tentang pengorbanan dan kesetiaan.
"Pakmu itu, selalu ngalah kalau berantem, orangnya gemi (hemat) dan irit ngomong," ujar ibu saat mengenang sang suami.
Ya, untuk menggapai tujuan mulia pernikahan. Pasti butuh perjuangan dan upaya tidak ringan, sepasang suami istri sepenuh kesadaran belajar mengesampingkan ego. Tak ada untungnya bersikap egois, kalau toh membuat kebersamaan dibangun menjadi porak poranda.
------
Rupanya bulan haji sedang berlangsung, dan warga bergantian menggelar pesta pernikahan. Â Saya tentunya turut senang, karena menikah adalah sunatullah dan cara kita meneladani apa yang Rasulullah jalankan.Â
Menikah bisa menjadi cara melanjutkan garis keturunan, demi keberlangsungan sebuah generasi. Sehingga pohon silsilah tidak putus, sekaligus memperpanjang generasi.
Setiap menghadiri undangan pernikahan, saya teringat bagaimana deg-degan ketika moment sakral itu semakin mendekat. Adalah ketika ijab kabul hendak diikrarkan, rasanya segenap jiwa lebur di dalam kesyahduan. Â Â
Saat dimana tengah berlangsung, prosesi serah terima anak perempuan dari orangtua kepada suaminya. Â Menyandang status baru sebagai suami, ibarat menyediakan pundak ini memikul amanah kehidupan yang luar biasa.
Menikah bukan lagi berpikir tentang aku, tapi tentang bagaimana kita, tentang masa depan dan kebaikan bersama.
"Kalau lagi berantem, jangan lama lama marahannya. Jangan gengsi minta maaf lebih dulu, meskipun merasa di posisi yang benar. Karena menyenangkan hati pasangan itu berpahala, dari pada keras hati dengan pendapat dan pendirian sendiri," begitu nasehat perkawinan saya simak belasan tahun lalu.
Mengungat prosesi ijab kabul, bagi saya bisa menjadi cara manjur untuk melunturkan ego. Karena di dalam moment itu, dengan penuh sadar kita sedang mengikatkan diri dengan sebuah janji suci. Janji untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan, janji bergandengan tangan dalan segala situasi.
Tak ada seorangpun bisa menjamin, bahwa kehidupan pernikahannya akan berjalan mulus dan bertabur wewangian bunga (dan hal ini sangat tidak mungkin). Tetapi kita perlu berkaca, Â bahwa ternyata banyak pasangan yang telah berhasil mempertahankan perkawinannya.
Ujian dan cobaan adalah hal yang wajar, jadikan sebagai bahan pembelajaran sekaligus perekat hubungan suami istri. Dan berjanjilah pada diri sendiri, akan tetap setia dan mempertahankan  pernikahan hingga maut memisahkan.
Di ujung tulisan ini, perkenankan saya menghaturkan doa untuk Kompasianer's. Bagi yang sudah berkeluarga, semoga dikuatkan dan bisa menggapai sakinah---Amin. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H