Dampak positif yang tidak bisa dihindakan, adalah berimbas pada meningkatnya sektor perekonomian warga sekitar lokasi wisata di Yogyakarta dan sekitarnya. Semakin cepat roda perekonomian berputar, maka kualitas kehidupan masyarakat juga akan meningkat---Alhamdulillah.
Namun, tiba-tiba terbersit kekhawatiran di benak ini. Bahwa meningkatnya perhatian publik pada Bandar Udara DIY di Kulonprogo, otomatis meningkat pula perhatian terhadap wilayah ( baca nama jalan) di sekitar bandara. Coba, Kompasianer's bayangkan. Orang yang menuju Bandara YIA, akan searching di google map, kemudian mendapati dan membaca nama jalan Deandels. Atau bisa saja suatu saat kita sendiri, saat pesan ojek online janjian dengan drivernya di jalan Deandels.
Kenapa Jalan Daendels, Tidak  Pangeran Diponegoro Saja ?
Perang Jawa tahun 1825-1830---Jalur selatan adalah jalur utama, digunakan Pangeran Diponegoro untuk mengendalikan pasukan dan logistik. Yaitu Cilacap (kini Kecamatan Adipala) hingga Bantul. Sebelumnya sebagai jalur Mataram Islam, sebagai jalur yang menghubungkan pusat kerajaan Yogyakarta dengan daerah kekuasaan bagian selatan Jawa. Jalur selatan atau jalur Diponegoro (yang kini dinamakan Jalan Daendels), sudah ada jauh sebelum A.D Daendels menjadi Asisten residen di wilayah Ambal.
Namun, entah terlewat atau bagaimana. Ketika teman Kompasianer (Bang Yon Bayu) menelusuri jalur selatan, mendapati fakta bahwa Jalan Diponegoro hanya sampai Pantai Suwuk. Â Setelah masuk Kecamatan Ambal, Â masih disebut nama jalan Daendels seperti nama jalan yang diberikan Belanda.Â
Hal ini diperkuat, ketika Bang Yon mampir ke sebuah warung mie ayam, tampak memasang spanduk bertuliskan jalan Daendels. Ada juga toko bangunan dan warung makanan Padang, memasang papan dari seng dengan nama jalan Daendels.
Saya jadi ingat, pada saat musim mudik lebaran tiba kawasan Jalan Daendels mendadak terangkat. Membaca status teman-teman di facebook, mereka riuh dan memuji mulusnya jalan di sepanjang jalur pantai selatan. Beberapa teman langsung berbagai foto wefie, di spot cantik di jalur yang dimaksud dan ternyata mereka sedang ada di jalur Daendels.
Sungguh, saya ikut miris melihat kenyataan ini. Dari nama sebuah jalan (apalagi jalan utama), seharusnya kita bisa menyerap inspirasi dan semangat positif. Â Bagi saya, nama jalan Diponegoro jauh lebih tepat, digunakan untuk nama jalan utama di pesisir selatan pula Jawa ini. Dibandingkan nama jalan Daendels, yang menjadi bagian dari penjajah bangsa tercinta ini.Â
Kalau ada kalimat, "Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Pahlawannya", (menurut saya) kasus jalan Daendels adalah sebuah ironi. Di mana letak jasa dan kepahlawanan Daendels , dan "kenapa Jalan Daendels, tidak Jalan Diponegoro Saja ?"