Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Jalan Daendels, Tidak Jalan Diponegoro Saja?

8 Oktober 2019   04:16 Diperbarui: 8 Oktober 2019   05:36 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dampak positif yang tidak bisa dihindakan, adalah berimbas pada meningkatnya sektor perekonomian warga sekitar lokasi wisata di Yogyakarta dan sekitarnya. Semakin cepat roda perekonomian berputar, maka kualitas kehidupan masyarakat juga akan meningkat---Alhamdulillah.

Namun, tiba-tiba terbersit kekhawatiran di benak ini. Bahwa meningkatnya perhatian publik pada Bandar Udara DIY di Kulonprogo, otomatis meningkat pula perhatian terhadap wilayah ( baca nama jalan) di sekitar bandara. Coba, Kompasianer's bayangkan. Orang yang menuju Bandara YIA, akan searching di google map, kemudian mendapati dan membaca nama jalan Deandels. Atau bisa saja suatu saat kita sendiri, saat pesan ojek online janjian dengan drivernya di jalan Deandels.

tangkapan layar-dokpri
tangkapan layar-dokpri

Kenapa Jalan Daendels, Tidak  Pangeran Diponegoro Saja ?

Perang Jawa tahun 1825-1830---Jalur selatan adalah jalur utama, digunakan Pangeran Diponegoro untuk mengendalikan pasukan dan logistik. Yaitu Cilacap (kini Kecamatan Adipala) hingga Bantul. Sebelumnya sebagai jalur Mataram Islam, sebagai jalur yang menghubungkan pusat kerajaan Yogyakarta dengan daerah kekuasaan bagian selatan Jawa. Jalur selatan atau jalur Diponegoro (yang kini dinamakan Jalan Daendels), sudah ada jauh sebelum A.D Daendels menjadi Asisten residen di wilayah Ambal.

tribunbogor.com
tribunbogor.com
Pergantian jalur Diponegoro menjadi Jalur Daendels, ternyata atas inisiatif Belanda. Tujuan utamanya, adalah melemahkan semangat pengikut dan menghilangkan simbol perjuangan. Perlahan tapi pasti, diharapkan nama Diponegoro hilang dari benak masyarakat setempat. Baru pada pasca kemerdekaan Indonesia, nama jalan berbau kolonials ditiadakan dan jalur selatan dikembalikan namanya menjadi Jalur Diponegoro.

Namun, entah terlewat atau bagaimana. Ketika teman Kompasianer (Bang Yon Bayu) menelusuri jalur selatan, mendapati fakta bahwa Jalan Diponegoro hanya sampai Pantai Suwuk.  Setelah masuk Kecamatan Ambal,  masih disebut nama jalan Daendels seperti nama jalan yang diberikan Belanda. 

Hal ini diperkuat, ketika Bang Yon mampir ke sebuah warung mie ayam, tampak memasang spanduk bertuliskan jalan Daendels. Ada juga toko bangunan dan warung makanan Padang, memasang papan dari seng dengan nama jalan Daendels.

sumber youtube Yon Bayu
sumber youtube Yon Bayu
Beberapa warga yang ditanya, mereka tidak terlalu mengetahui muasal atau alasan menggunakan nama jalan Daendels. Karena nama jalan Daendels sudah lama, umumnya mereka mengaku nama jalan ada sejak mereka lahir.

Saya jadi ingat, pada saat musim mudik lebaran tiba kawasan Jalan Daendels mendadak terangkat. Membaca status teman-teman di facebook, mereka riuh dan memuji mulusnya jalan di sepanjang jalur pantai selatan. Beberapa teman langsung berbagai foto wefie, di spot cantik di jalur yang dimaksud dan ternyata mereka sedang ada di jalur Daendels.

Sungguh, saya ikut miris melihat kenyataan ini. Dari nama sebuah jalan (apalagi jalan utama), seharusnya kita bisa menyerap inspirasi dan semangat positif.  Bagi saya, nama jalan Diponegoro jauh lebih tepat, digunakan untuk nama jalan utama di pesisir selatan pula Jawa ini. Dibandingkan nama jalan Daendels, yang menjadi bagian dari penjajah bangsa tercinta ini. 

Kalau ada kalimat, "Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Pahlawannya", (menurut saya) kasus jalan Daendels adalah sebuah ironi. Di mana letak jasa dan kepahlawanan Daendels , dan "kenapa Jalan Daendels, tidak Jalan Diponegoro Saja ?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun