Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Ada Pernikahan yang Ideal!

12 September 2019   20:33 Diperbarui: 13 September 2019   04:03 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah Itu Ibadah, Titik !

Sebelum terlelap tidur, hal yang biasa saya lakukan (mungkin anda juga) adalah berselancar di dumay. Membaca apa saja yang nongol di timeline medsos, kalau emang pengin atau tertarik biasanya saya klik like atau meninggalkan komentar.

Ada satu caption, yang menarik perhatian dan rasanya sayang kalau tidak saya tulis ulang. Begini lebih kurang captionnya ; "Menikah itu ibadah titik. Atas dasar itulah saya yang notabene melakoni pernikahan ala siti nurbaya sanggup bertahan hingga belahan jiwa berpulang. Tak apa. Tak mengapa. Tak ada yang rumit jika semua memahaminya begitu...dst...dst....... Menikahlah, biar Allah yang mencukupkan"

Saya salut dan hormat dengan si pembuat status (kebetulan secara pribadi mengenal), beliau begitu pintar menata perasaan dan hati. Menjalani hari demi hari selama pernikahan, menggenggam bulat prioritas dalam menjalaninya yaitu beribadah. 

Saya yakin, hati akan menjadi ringan dan ikhlas , kalau kita menjalani sesuatu atas dasar ibadah. Sehingga apapun yang terjadi, baik senang atau susah akan disikapi dari sudut pandang positif, sehingga setiap ujian niscaya akan memperteguh keyakinan.

Dan nyatanya memang benar, dari status yang ditulis terbukti, bahwa pernikahan yang dijodohkan tersebut, ternyata bertahan hingga maut memisahkan. Teriring doa, semoga almarhum khusnul khatimah, dan istri yang solihah akan mendapat ganjaran tak berputus- Amin.

Semua demi Anak anak !

Perempuan usia (sekira) setengah abad,  dengan bola mata memerah karena sembab, tubuh cekingnya cukup tangguh membalut pedih yang bersemanyam di dada. Puluhan tahun tinggal satu atap, bersama lelaki yang dipilihnya sendiri dan diketahui kerap menganiaya. 

Perlakuan kasar baik fisik maupun batin dialami, rasanya sudah bukan hal baru untuk diterima. Serentetan caci maki dan kalimat merendahkan, lama kelamaan menjadi santapan biasa dan membuat kupingnya kebal.

beritaenam.com
beritaenam.com
Sebagai manusia biasa, ada kalanya tidak kuat kemudian melawan dan menjawab sebisanya "Dasar g*bl*k" umpat si suami suatu waktu. "Kalau aku pintar, pasti tidak mau menjadi istrimu" balasnya menahan air mata. Raga perempuan ini terlalu lemah, tak bakal sanggup menandingi  badan gempal sang suami. Isak tangis dan permohonan, rasanya belum juga meruntuhkan batu karang di hati lelaki yang seharusnya melindungi.

Namun siapa sangka, sengsara yang sekian lama ditanggung justru menggandakan kesabaran dan meneguhkan kepasrahan. Kini, penderitaan itu dirasa kebal, segala perlakuan dan ucapan kasar, tidak terlalu mempengaruhi pertahanan.

Kebetulan saya mengenal perempuan hebat ini, saking penasarannya saya pernah bertanya, tentang alasan terbesar yang membuatnya bertahan. Jawaban yang keluar dari mulutnya adalah anak-anak, sehingga dia merelakan diri dijadikan pesakitan.

Rasa sesal untuk kesalahan memilih suami selalu ditepis, focusnya adalah bagaimana mengantarkan anak-anak dewasa dan mandiri. Sekasar apapun sikap suami terhadapnya, setidaknya tanggung jawab akan uang bulanan tidak dilupakan.

Tak Ada Pernikahan yang Ideal !

dokpri
dokpri
Kompasianer, bahwa suami dan istri adalah dua orang yang berbeda (watak dan perilaku) itu benar adanya. Kemudian mereka bersatu dan dipersatukan, oleh ikatan sakral yang bernama pernikahan. Karena memang (asalnya) dua pribadi yang berbeda, jadi wajar kalau di awal menikah terjadi banyak "gap" yang menuntut keduanya saling menyesuaikan.

Pada periode penyesuaian inilah, masa-masa pasangan suami dan atau istri dituntut belajar keras untuk mengelola ego. Kalau ada Istilah bahwa menikah itu mendewasakan, saya rasa kalimat ini sangat tepat dan akan dialami di tahun awal penikahan.

Lelaki perkasa yang telah menjelma sebagai suami, secara alami akan belajar, memberi persembahan sikap dan ucapan terbaik untuk istri dicintai. Menyingkirkan gengsi, tak segan turun tangan dalam pekerjaan rumah tangga serta urusan domestik. 

Perempuan yang lembut dan manja yang telah menjadi seorang istri, dengan penuh kesadaran akan belajar menepis rasa enggan. Bersedia melayani suami, mengorbankan waktu tenaga dan pikiran sepanjang hidup untuk suami yang dihormati.

Memang tidak ada pernikahan ideal, yang ada adalah bagaimana suami dan istri, terus belajar menyesuaikan diri. Suami dan atau istri dijamin tidak akan jatuh martabat dan harkatnya, hanya gara-gara menyediakan diri saling mengalah dan menomor duakan keinginan sendiri.

Mereka, pasangan yang terbukti bertahan sampai maut memisahkan, berhasil menjadi pasangan (dikatakan) ideal, karena selalu memegang komitmen dan teguh dengan sikap saling mengalah. Sehingga sepanjang kehidupan perkawinan, keduanya tak henti belajar dan terus berusaha menyesuaikan diri.

Bagi pasangan yang telah terpisahkan oleh maut, menjadikan sikap mengalah adalah bagian dari proses mengelola ego. Sehingga apapun yang dihadapi, bukan lagi dianggap sebagai beban melainkan tahapan yang dinikmati.

dokpri
dokpri
----

Kehidupan selalu memiliki cara sendiri, memberikan balasan kepada setiap orang atas perbuatannya. Mereka yang berlaku baik atau telah berlaku salah, akan memetik hasilnya tanpa dirugikan sedikitpun. Jujur saja, secara pribadi saya mengambil hikmah, betapa hukum alam berlaku sungguh adil dan tak memihak kecuali kepada yang benar.

Perempuan dengan wajah memendam lara, tak juga beranjak mendampingi lelaki yang telah membuat hidupnya nelangsa.  Ketika suami perkasa yang kini memasuki usia senja, raganya melemah dihinggapi sakit ini dan sakit itu. Kekuatan bersemanyam di tubuh yang dulu gempal, perlahan sirna digerus perjalanan waktu.

Perempuan semasa muda kerap disakiti , geming dalam sikap setia dan tak lelah mengurus suami layaknya mengurus kanak-kanak. Perempuan yang diabaikan dari sikap ramah, tetap bertahan mendampingi disaat tubuh suaminya tak berdaya. Entahlah, terbuat dari apa hati perempuan ini.

Sementara anak-anak yang diperjuangkan, kini telah berkeluarga dan mempersembahkan cucu sebagai penghiburan kakek dan neneknya. Keteguhan demi keteguhan, sungguh menjadi inspirasi sekaligus contoh bagi saya.

Ya, memang tidak ada pernikahan yang ideal, yang ada adalah suami dan atau istri yang sedang berproses dan belajar untuk terus menyesuaikan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun