Kakak ipar (yang tinggal di Tangsel), sempat dibuat terkaget-kaget. Ketika menyusul, datang ke acara ngunduh mantu (saya dan adik kandungnya pastinya) di kampung halaman di pelosok Jawa Timur. Untuk sampai ke rumah orangtua saya, memerlukan waktu tempuh sekira 30 menit dari kota Kabupaten.
Sebagai orang yang baru kali pertama berkunjung, si kakak mengikuti rute yang telah diberikan (kala itu belum ada google map). Dari kota terus saja menyusuri jalan utama, kemudian menemui tanda belok kanan sesuai petunjuk bertulis nama desa tempat acara hajatan.
Sekira lalu lintas mulai lengang dan menemui banyak sawah(karena masuk desa), kakak ipar mulai ragu dan menghentikan kendaraan. Kemudian turun dan bertanya, kepada warga yang rumahnya ada di pinggir jalan. Disebutkan nama pemilik hajat (ayah saya), dan orang ditanya memberi ancer-ancer lokasi hendak dituju.
"Ikuti saja jalan ini, nanti bapak melewati jembatan setelah itu lurus terus , ketemu SMP masih terus saja, kemudian ada jalan menanjak ketemmu perempatan dan di kanan jalan akan kelihatan janur kuning, nah di situ rumahnya" Dengan mengikuti arahan orang yang ditanya, akhirnya pria paruh baya sampai juga di rumah pelosok kampung dengan selamat.
Setelah menceritakan yang dialami, diketahui bahwa tempat bertanya adalah warga yang tinggal di desa tetangga (Kecamatan sama). Jembatan dimaksud adalah perbatasan desa, kemudian SMP letaknya beda dusun baru masuk ke desa kami.
Ada satu hal yang membuat kakak ipar kaget sekaligus kagum, orang yang ditanya terkesan paham dengan tujuan serta pemilik hajat. Ini bukan karena ayah atau keluarga saya terkenal ya (hehehe), tapi memang begitu umumnya terjadi di pelosok desa.
Meskipun beda desa warga saling mengenal, mungkin karena jumlah warga relatif tidak terlalu banyak. Setiap desa punya hari pasaran berbeda, menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi orang dari desa berlainan.
Di desa, kegiatan warga ada umumnya juga masih ada batas waktunya, selepas maghrib kebanyakan sudah ada di rumah. Jadi malam hari bisa hadir di acara masjid, atau ronda atau selametan dan kegiatan lainnya.
Pun ketika minggu pagi tiba, orangtua dan anak muda berkumpul untuk kerja bakti RT, atau kalau ada warga mendirikan rumah semua ikut gotong royong dan lain sebagainya.
-----
![famina.or.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/04/fahminaorid-5d6f17eb097f364e80359943.jpg?t=o&v=770)
Saya yang termasuk warga pendatang, tidak terlalu kenal dengan warga lama (biasanya sudah sepuh) dan apalagi warga yang datang setelah saya. Sehingga ketika disebut nama, otomatis pikiran langsung blank karena tidak terlalu paham.
Kejadian yang sama, mungkin pernah Kompasianer alami, tinggal di satu lingkungan, tetapi tidak terlalu kenal atau akrab dengan warga sekitar. Dengan berbagai alasan, seperti ngontrak atau sering lembur atau tugas luar kota, sehingga antar tetangga kurang akrab.
![dolumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/04/5-s-rpg-5d6f17bd0d823054e245d5b3.jpg?t=o&v=770)
Sebegitu Sibukkah Kita ?
Warga urban, identik dengan kesibukan demi kesibukan yang super padat. Pagi buta sebelum subuh, sudah ada yang berangkat beraktivitas. Kemudian setelah hari mulai gelap, ada yang baru menginjakkan kaki di rumah. Begitu hal yang sama terjadi berulang setiap hari, berlangsung selama bertahun tahun.
![warga selepas upacara 17 Agustus- dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/04/img20190817071925-5d6f16980d823076343ab6a2.jpg?t=o&v=770)
Pada hari saat tertentu, menghabiskan waktu dengan nongkrong bareng teman di komunitas, hangout bareng teman sekantor. Bikin kegiatan ini dan itu, mulai santunan dhuafa dan anak yatim, bersih-bersih sampah di pantai, nonton bareng dan lain sebagainya.
Nyaris, kita selalu ada, menyediakan dan menyempatkan waktu, pikiran, tenaga, bahkan biaya untuk ragam kegiatan yang (kita claim) bermanfaat untuk orang banyak. Tidak ada yang salah memang, karena hidup memberi kesempatan untuk melakukan banyak hal.
Masalahnya, apakah hal yang sama, juga kita berikan untuk tetangga dan lingkungan di sekitar. Sekedar senyum dan bertegur sapa, sesekali ikut kumpul dan atau berkegiatan. Para tetangga, adalah orang terdekat, yang tak urung suatu saat kita butuh bantuan mereka.
Bertahun tahun kita tinggal dan menetap di satu lingkungan, apakah kita, termasuk orang yang masih enggan datang ke (satu saja) kegiatan warga di lingkungan sekitar. Entah ikut halal bihalal, kerja bakti RT, yasinan saat ada tetangga meninggal, ikut repot saat tetangga ada hajatan, menyediakan diri menjadi panitia ini dan itu.
![yasinan di rumah warga-dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/04/img-20190901-wa0051-5d6f1770097f365051594164.jpg?t=o&v=770)
Atau sebegitu sibukkah kita, sampai tidak ada waktu barang sebentar saja, untuk sekedar berkumpul dan bercengkrama bersama. Para tetangga, adalah orang yang tinggal dan dekat, pada suatu saat kita akan butuh pertolongan mereka.
Contoh paling sederhana, kalau kita bepergian ke luar kota dan rumah kosong, pesan ke tetangga untuk sekedar menengok. Atau kalau ada paket kiriman datang, bisa minta tolong tetangga untuk diterima dan disimpan sampai kita pulang. Begitu sebaliknya, kita membuka diri untuk tetangga (misal) sekedar titip kunci, atau apapun yang bisa dilakukan.
Bertetangga sebenarnya sederhana, ada yang bilang tidak bisa gabung ragam acara warga, untuk aneka alasan kesibukan. Lalu, Sebegitu Sibukkah Kita ?
Ada empat di antara kebahagiaan ; istri yang sholihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman. Ada 4 kesengsaraan; istri yang buruk, rumah yang sempit, tetangga yang buruk dan kendaraan yang buruk" HR Ibnu Hibban
(Semoga bermanfaat)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI