Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jarang Kumpul dengan Warga, Sebegitu Sibukkah Kita?

4 September 2019   08:48 Diperbarui: 7 September 2019   02:09 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
yasinan di rumah warga-dokpri

Kakak ipar (yang tinggal di Tangsel), sempat dibuat terkaget-kaget. Ketika menyusul, datang ke acara ngunduh mantu (saya dan adik kandungnya pastinya) di kampung halaman di pelosok Jawa Timur. Untuk sampai ke rumah orangtua saya, memerlukan waktu tempuh sekira 30 menit dari kota Kabupaten.

Sebagai orang yang baru kali pertama berkunjung, si kakak mengikuti rute yang telah diberikan (kala itu belum ada google map). Dari kota terus saja menyusuri jalan utama, kemudian menemui tanda belok kanan sesuai petunjuk bertulis nama desa tempat acara hajatan.

Sekira lalu lintas mulai lengang dan menemui banyak sawah(karena masuk desa), kakak ipar mulai ragu dan menghentikan kendaraan. Kemudian turun dan bertanya, kepada warga yang rumahnya ada di pinggir jalan. Disebutkan nama pemilik hajat (ayah saya), dan orang ditanya memberi ancer-ancer lokasi hendak dituju.

"Ikuti saja jalan ini, nanti bapak melewati jembatan setelah itu lurus terus , ketemu SMP masih terus saja, kemudian ada jalan menanjak ketemmu perempatan dan di kanan jalan akan kelihatan janur kuning, nah di situ rumahnya" Dengan mengikuti arahan orang yang ditanya, akhirnya pria paruh baya sampai juga di rumah pelosok kampung dengan selamat.

Setelah menceritakan yang dialami, diketahui bahwa tempat bertanya adalah warga yang tinggal di desa tetangga (Kecamatan sama). Jembatan dimaksud adalah perbatasan desa, kemudian SMP letaknya beda dusun baru masuk ke desa kami.

Ada satu hal yang membuat kakak ipar kaget sekaligus kagum, orang yang ditanya terkesan paham dengan tujuan serta pemilik hajat. Ini bukan karena ayah atau keluarga saya terkenal ya (hehehe), tapi memang begitu umumnya terjadi di pelosok desa.

Meskipun beda desa warga saling mengenal, mungkin karena jumlah warga relatif tidak terlalu banyak. Setiap desa punya hari pasaran berbeda, menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi orang dari desa berlainan.

Di desa, kegiatan warga ada umumnya juga masih ada batas waktunya, selepas maghrib kebanyakan sudah ada di rumah. Jadi malam hari bisa hadir di acara masjid, atau ronda atau selametan dan kegiatan lainnya.

Pun ketika minggu pagi tiba, orangtua dan anak muda berkumpul untuk kerja bakti RT, atau kalau ada warga mendirikan rumah semua ikut gotong royong dan lain sebagainya.

-----

famina.or.id
famina.or.id
Lain di desa lain di kota, setelah merantau lebih kurang seperempat abad, saya merasakan perbedaan itu. Jangankan yang tinggal beda kampung, kami warga satu perumahan belum tentu banyak yang tahu apalagi kenal. Hal ini baru saya sadari, ketika ada petugas pengiriman dari jasa logistik, berhenti di depan rumah dan menyebutkan nama serta alamat dituju. Kebetulan nomor rumah ngacak, ada yang memakai nomor lama ada yang memakai nomor kavling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun