Beberapa artikel tentang keluarga, yang saya tulis di kolom sosbud Kompasiana mendapat respons beragam dari pembacanya. Apapun bentuk respons, saya sambut gembira dan antusias, itu artinya tulisan saya ada yang membaca. Hehehe
Khusus yang membahas pernikahan, ada yang sampai bertanya melalui inbox di medsos. Salah satunya menyoal patokan umur yang dikatakan telat menikah.
"Memang umur berapa sih dibilang telat menikah, setiap orang kan punya waktu terbaik untuk menikah, jadi tidak bisa disamakan" ujar teman dumay.
Satu artikel berjudul "Ini Alasan Sebaiknya Jangan Menunda Menikah", mendapat pertanyaan unik melalui pesan pribadi tersebut. Isi artikel dimaksud, adalah murni pengalaman pribadi terkait dialog dengan teman yang menikah di usia (bisa dibilang) cukup matang.
Teman ini menyarankan saya, agar tidak menirunya menikah di umur 35 tahun, dengan beberapa pertimbangan terutama dari sisi fisik.
Pada usia 40 tahun lebih, bapak yang (menurut dia sendiri) telat menikah ini, tidak bisa mengimbangi kemauan jagoannya yang berumur 9 tahunan. Saya pernah mengalami fase seperti bapak ini, anak laki-laki di bawah sepuluh tahun, sangat mengandalkan ayahnya untuk diajak bermain.Â
Ayah yang jarang olah raga dan sudah berumur, biasanya merasa tersiksa apabila diajak lari-larian bermain bola. Mengikuti anak yang energinya sangat fresh, si ayah yang kecapekan disemangati untuk mengejar dan menendang bola, mengimbangi permainannya.
"Itu kalau, di usia ideal sudah ada calon, kalau belum ada bagaimana?" -- hehehehe. Jawabnya, "Ya musti berusaha lebih giat sembari memperbaiki diri."-- hehehehe
Kategori Umur Telat Menikah
Sungguh, saya sendiri bingung, tidak bisa memberikan patokan secara pasti, perihal umur yang bisa dikategorikan telat menikah. Apalagi kalau orang yang bertanya, nyatanya belum menemukan (atau tepatnya dipertemukan) dengan tambatan hati.Â
Soal menikah memang tidak semudah membalik telapak tangan, ada kondisi almami (mungkin tepatnya sunatullah) berlaku dan di luar kuasa manusia yang notabene adalah hak prerogatif Tuhan.
Saya pernah menyimak tausiyah ustad ternama, bahwa setiap peristiwa yang dialami setiap manusia itu tidak ada yang sia-sia, menjadi tugas kita manusia untuk mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang dialami.
Kalaupun ada yang menyoal masa ideal atau masa lewat pernikahan, sebaiknya kita menyamakan sudut pandang mana mau dilihat. Kalau bersepakat tentang usia biologis, maka (saya yakin) masing-masing kita bisa mengira-ngira sendiri.
Kalau saya yang ditanya, lebih cenderung berhitung pada perkiraan rentang usia anak dan orangtua terutama ayah yang pas. Ayah secara kodrat adalah pencari nafkah utama, maka saya menjadikan patokan pernikahan (etapi, ini pendapat pribadi yaaa..)
Kita bicara dalam situasi ideal dan secara umum, laki-laki yang menikah di usia 25 sampai jelang 30 tahun (saya pikir) dari sisi usia cukup pas. Misalnya memiliki anak setahun setelah menikah, maka secara fisik dan produktifitas masih bisa menyesuaikan.
Misalnya laki-laki menikah  30 tahun lebih sedikit, (masih menurut saya lagi yaa) bisa ditoleransi  juga, lagi-lagi pertimbangannya apabila anak sedang butuh perhatian lebih.
"Tetapi ada kasus, orang yang menikah muda, tetapi susah punya anak?", Â Manusia memiliki takdirnya sendiri-sendiri, tetapi hal ini bukan berarti kita tidak perlu merencanakan sesuatu secara ideal kan.
Jodoh termasuk satu dari tiga rahasia Illahi, manusia diberi kemampuan untuk berusaha maksimal mengerahkan segenap daya dimiliki. Menjadikan sholat dan sabar sebagai penolong, karena setiap peristiwa tidak ada tujuan lain kecuali untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Bagi sahabat Kompasianer yang belum bersua jodoh, jangan berkecil hati dan kendor semangat, asal upaya terus diikhtiarkan  biarlah waktu yang akan menjawab semua asa. -- semoga bermanfaat-