Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Fakta Mematahkan Asumsi bahwa Anak Ragil Itu Manja

30 Agustus 2019   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2021   10:01 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi- kolrksi pribadi

Menjadi anak ragil memang tidak selalu indah (baca dimanja), tetapi ketidak enakan dialami ternyata membawa dampak baik kalau dilihat dari sudut pandang baik pula. Kalau ada istilah, sepuluh telor akan punya bentuk dan warna berbeda meskipun keluar dari perut ayam yang sama. Hal yang sama, berlaku pada orangtua dengan banyak anak, meski dari rahim yang sama perilaku anak pasti berbeda.

Beberapa hal tentang anak ragil saya coba simpulkan, baik dari pengalaman sendiri atau melihat teman yang juga anak ragil. Berikut diantaranya, yang bisa diambil dari sikap anak  ragil.

  • Rasa Empati Terasah

Keluarga di era 80-an ke bawah, banyak anak adalah hal biasa, pepatah 'banyak anak banyak rejeki' masih dipegang dan dianut kala itu. Sampai pemerintah orde baru, mencanangkan dan gencar menyosialisasikan program Keluarga Berencana (KB) dua anak cukup.

Semasa saya kecil, mendapati keluarga dengan lima, enam atau tujuh anak sudah bukan hal aneh. Meskipun akibat kondisi banyak anak inilah, orangtua dituntut bekerja lebih keras dan (biasanya) dituntut prihatin untuk keberlangsungan hidup keluarga.

Tidak jarang, ayah selain punya pekerjaan tetap juga kerja serabutan, kemudian ibu membantu mencari nafkah. Ketika para kakak sudah merantau untuk kuliah, ragil yang masih di rumah akan menjadi saksi perjuangan ayah ibu berjibaku mencari biaya sekolah.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Maka kalau ada kakak sulungg atau tengah yang nakal, suka berbohong soal uang sekolah, biasanya si ragil menjadi orang yang turut geram (meski tidak bisa berbuat banyak). Pasalnya sebagai anak paling kecil, ikut melihat bagaimana ayah dan ibu banting tulang untuk mecari uang. Saya juga menjadi saksi, bagaimana ayah dan ibu pontang panting membayar kuliah para kakak. 

Namu ada hikmah saya dirsakan, sisi baik yang terpetik adalah rasa empati yang bertumbuh. Melihat bagaimana pengorbanan orangtua, saya tidak tega merepotkan ayah dan ibu lebih lama. Ketika masuk dunia kampus, saya menemui beberapa teman (yang juga anak bungsu) memutuskan kuliah sambil bekerja.

Kuliah tanpa minta sepeser uang dari orangtua, adalah bentuk bakti yang muncul tanpa disadari, akibat rasa empati setelah mengetahui sendiri bagaimana kedua orangtua bekerja keras.

Baca juga: Derita Anak Bungsu yang Tak Banyak Orang Tahu

  • Mempunyai Jiwa Mandiri

Orangtua, kalau anak bungsu-nya saja sudah beranjak remaja, bisa dipastikan kakak-kakaknya sudah dewasa, atau beberapa mungkin ada yang berumah tangga. Bungsu yang masih tinggal di rumah, otomatis diberi Job untuk mengantikan tugas kakak, misalnya mewakili orangtua berkegiatan di lingkungan.

Dulu semasa masih SMA, bersama teman seusia saya kerap menjadi seksi repot (atau sinoman) ketika ada tetangga yang mempunyai hajatan. Tugas mengantarkan makanan dan minuman ke tamu, kemudian mengambil piring dan gelas kotor untuk dicuci dengan tangkas dilakukan anak muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun