"Jadi anak ragil sih enak, semua perhatian tertuju padanya" , "Anak bungsu mah enak, biasanya digandoli ibu biar nggak kemana-mana.", "anak paling kecil, anak paling dimanja"
Kita lahir tidak bisa memilih, untuk dilahirkan di keluarga mana dan menjadi anak urutan yang ke berapa. Suratan takdir menggariskan, mau jadi anak sulung, tengah, Â ragil, anak tunggal atau anak angkat tidak ada beda. Masalahnya hanya sekedar urutan anak, (menurut saya) tidak bisa dijadikan paramater sikap dan kecenderungan perilaku seorang anak.
Bahwa menjadi anak sulung, akan menjadi tulang punggung keluarga, kemudian mengorbankan dirinya (terpaksa) menikah terlambat, karena ingin adik-adiknya 'mentas' lebih dulu. Bisa jadi ada mbarep yang mengalami hal demikian, meski hal yang sama (sebenarnya) tidak berlaku pada semua anak tertua.
Pun stigma tentang anak ragil yang dianggap manja atau anak mama, karena sebagai yang paling paling kecil semua perhatian tertuju kepadanya. Bahwa anak ragil anak paling disayang orangtua, kerap mendapat pembelaan atau perlindungan kalau digoda kakak-kakaknya.
Mungkin saja benar ada yang seperti itu, tetapi (percayalah) di kehidupan nyata, tidak semua anak bungsu selalu mendapat perlakuan seperti dibayangkan.
Baca juga: Dari Kacamata Si Bungsu yang Tak Kenal Sibling Rivalry
Ada lho, justru yang berlaku kebalikan, mendapati anak sulung yang punya tabiat seperti anak ragil dan justru si anak ragil lebih arif dan dewasa. Memang semua kondisi tidak berlaku umum, karena setiap keluarga memiliki budaya dan kebiasaan sendiri-sendiri.
----
Pagi selepas sholat subuh, saya terbiasa membantu ibu beres-beres rumah, tugas utama adalah menyapu dan seminggu sekali mengepel. Kalau hari libur, membantu ibu berjualan di warung yang ada di pasar kampung.
Pun kalau ada genteng bocor, saya tidak bisa tinggal diam, mendapat tugas membantu ayah mengganti genteng sebelum hujan turun. Atau kalau ada kerja bakti RT, sebagai anak laki-laki yang sudah besar, saya turut serta meskipun ayah juga tampak hadir.