Saya pernah dibikin sebel (sebenarnya ada kocaknya juga sih), menjelang malam di sebuah warung angkringan di daerah Semolowaru Surabaya. Kala itu, begitu datang dan duduk di bangku warung, saya mengambil sego kucing dan membuka karet pengikatnya. Si penjual belum kelihatan batang hidungnya, sepertinya sedang ada di belakang sibuk mengerjakan pekerjaan lain.
"Cak, teh anget manis yo" ujar saya setengah teriak
"Siap mas" terdengar suaranya saja, tapi belum tampak orangnya.
Belum genap lima menit, saya sedang lahap menyantap sego kucing, pemilik warung muncul dari balik dinding dapur sembari membawa minuman pesanan saya.
"Monggo Pak, teh anget manisnya"
Sontak, di kuping ini terdengar ada yang  aneh, antara kesel, sebel dan pengin segera beranjak pergi, sekaligus malu karena ada beberapa pembeli lainnya. Hanya dalam hitungan menit, ada perubahan yang terjadi begitu cepatnya, yaitu perubahan panggilan yang semula "Mas" tiba-tiba  menjadi "Pak".
Wajah saya merah padam, memasang tampang cemberut, saya menerima minuman dan meneruskan menyantap sego kucing. Untuk mengurangi rasa kikuk, saya menyomot gorengan sembari mencocol petis dan menguyahnya.
Apakah saya tampak sebegitu tuanya, sehingga ada insiden ralat penggilan. Menurut saya, di usia seperempat abad kala itu, saya masih sangat pantas dipanggil "Mas" atau "Cak" atau "Bang" atau kalau perlu nama saja (sayangnya kami tidak kenal)
Parahnya saya tidak segera sadar diri, "insiden" berulang kali tidak serta merta merubah pola makan dan gaya hidup diterapkan. Kebiasaan makan (tengah) malam tetap dilakukan, jam sepuluh malam (saat sebagian orang sudah tidur), dengan santainya saya menyantap ayam penyet, besoknya pecel madiun, besoknya lagi nasi rames dan seterusnya.
Setiap berangkat kantor, mampir di warung pecel pinggir jalan, dan saya makan dengan lahap menu apapun tanpa pilah dan pilih.Malam di kost-an tersedia kaleng wafer, kalau habis ganti dengan biscuit, Â kalau habis saya beli camilan seperti keripik singkong, keripik kentang dan sebagainya.