"Ubud emang keren, jangan lupa oleh-oleh udeng khas Bali ya, Kakak", "Bro lagi di KL ya, mau dong kaos gambar menara Petronas", "Mampir ke Pasar Bawah deket jam gadang sis, ada souvenir khas bukit tinggi, bawain buat ogut yak"
Kompasianer, mungkin  pernah membaca di kolom komentar medsos "Minta Oleh-oleh". Bisanya di akun sosmed, yang memajang foto pemilik akun sedang travelling ke satu tempat (dalam/luar negeri). Mungkin karena akrab (atau kenal sekedarnya), tidak jarang aneka komentar yang nyeletuk atau terus terang minta dibelikan oleh-oleh.
-----
Saya termasuk orang yang tidak setuju, dengan kebiasaan minta oleh-oleh (baik becanda/ sungguhan) kepada teman atau saudara yang sedang pergi. Karena saya sendiri kurang suka ditodong, jadi berusaha menempatkan diri bagaimana rasanya kalau ditodong.
Mereka yang bepergian, tidak selalu membawa uang lebih (apalagi backpaker). Kalaupun mereka menyiapkan bekal, pasti sudah diperhitungkan setidaknya untuk mem-back up kebutuhan selama di tempat tujuan.
Lain soal, kalau yang minta dibelikan oleh-oleh sudah menitip uang. Sehingga sudah ada kesepakatan dua belah pihak, bahwa yang pergi akan membeli barang diinginkan penitip.
Karena ada lho, orang yang tidak enakan (biasanya kepada kawan lebih senior), pas ditodong membawa oleh-oleh dia tidak bisa menolak atau menghindar. Orang yang tidak enakan tersebut di posisi serba salah, akhirnya berusaha memenuhi keingininan orang yang menodong.
Bayangkan, betapa merepotkan dan tentu saja membebani. Dengan membeli oleh-oleh, berarti teman ini musti menyediakan waktu, tenaga dan (tentu saja) uang -- kalau yang nodong sekedar nitip saja. Â Musti pergi ke tempat penjualan souvenir, mencarikan pesanan (syukur kalau mudah dicari, kalau susah kan repot), kemudian menyediakan tambahan budget (moga-moga diganti duitnya).
Pada saat pulang, bawaan jadi tambah berat dan rempong, ladamh ada satu kardus khusus isinya khusus oleh-oleh. Dan kemungkinan lain bisa terjadi, Â yaitu terkena biaya tambahan untuk kebelihan bagasi -- kasihan banget kan.
Kalau pergi sendirian (untuk urusan pekerjaan), setidaknya membeli oleh-oleh untuk anak anak dan istri yang paling diprioritaskan. Kalau ada waktu bisa belanja, akan membawa oleh-oleh untuk mertua -- kebetulan kami tinggal beda perumahan. Baru membelikan tetangga, saudara dan seterusnya.
Bahkan kalau tujuan bepergian memang untuk berlibur, dari awal berangkat saya sudah mengira-ngira siapa saja akan dibawakan oleh-oleh. Sehingga sudah mempersiapkan dana, bisa jadi berangkat dengan membawa tas kosong agar tidak perlu angkat kardus.
Seberapa Penting Membawa oleh-oleh untuk tetangga?
"Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian saling mencintai." (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 6/169, hasan)
Sejak berkeluarga dan punya rumah, saya merasakan pentingnya rukun dan akur dengan tetangga. Kebetulan, tetangga depan dan samping kiri seumuran, jadi kami tidak terlalu kaku. Sementara rumah di samping kanan. pemiliknya sudah sepuh, anaknya seusia saya, jadi kami bersikap menuakan kepada nenek beberapa cucu ini.
Sepuluh tahun tinggal di perumahan lawas ini, hubungan kami baik-baik saja, saya terbiasa menjaga sikap kepada tetangga (terlebih yang sudah sepuh). Meskipun tidak bertemu setiap hari, hubungan antar tetangga tetap terjaga.
Tetangga kami yang sepuh, meski relatif jarang pergi tetapi suka memasak, alhasil keluarga kami kerap mendapat makanan siap santap. Apalagi kalau ada acara keluarga, tak ayal makanan dan jajanan diantar ke rumah.
Sementara tetangga depan yang asalnya seputaran Jabodetabek, kalau masak enak kami kebagian, pun kalau sedang kedatangan saudaranya, beberapa jajanan mampir di rumah. Lain lagi dengan tetangga samping kiri, punya usaha kuliner dijual secara online. Kalau ada menu baru, kami menjadi pencicip yang nomor satu.
Masalah harga oleh-oleh sangat relatif, karena kami memang senang melakukannya sehingga tidak terbebani. Dan benefit dari saling memberi, hubungan kami terjaga dan harmonis.
Antar tetangga kami dengan suka cita membantu, misalnya (dari yang sepele) dititipin kunci rumah, atau kalau dapat paket  dan rumah tutup, maka bisa pesan ke jasa delivery untuk menaruh paket di rumah tetangga. Kalau anak sedang enggan diajak pergi, selama kami tinggal anak kami titipkan dan bermain dengan anak tetangga
Seberapa penting membawa oleh-oleh untuk tetangga? Jawabnya adalah penting banget. Hanya dari sekedar oleh-oleh, dampaknya sangat banyak, yaitu kami saling membantu dan perhatian.
Tapi bagaimana, kalau punya tetangga pelit dan tidak suka berbagi? Sebaiknya kita jangan ikutan pelit, kalau punya niat membawakan oleh=oleh laksanakan tanpa ragu.
Kebaikan musti diawali dari diri, serta jauhkan dari niat atau keinginan agar dibalas dengan hal serupa. Maka tidak ada salahnya, kalau kebiasaan minta oleh-oleh diganti dengan memberi oleh-oleh. Karena memberi lebih baik dari pada meminta, meskipun hal ini tidak terlalu populer.
Kok saya yakin kalau kita mulai memberi oleh-oleh. Semoga orang yang maunya menerima pemberian. (perlahan tapi pasti) tergerak untuk gantian memberi. Kalaupun ternyata ada orang, yang hanya suka menerima tanpa mau memberi, biarlah bukan menjadi urusan kita.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H