Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tinggal di Rumah Mertua Itu Tidak Selalu Enak!

24 Juni 2019   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:30 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lu tu ya, kayak orang susah, ngapain repot-repot tinggal di kontrakan sak uprit gini, mending numpang di rumah mertua." Sewaktu masih hitungan penganten baru, saya sempat diledek teman (konteksnya guyon, karena kami memang akrab).

Mendengar  celotehannya kawan dekat ini, tentu saja saya hanya senyum-senyum saja dan tidak terlalu menanggapi. Kalau saya tanggapi serius, justru saya yang salah dan tidak bisa menempatkan diri---Ye kan.

Kebetulan saya sangat tahu dan mengenal, kawan karib ini adalah anak ragil, diwanti-wanti dan digandoli ibunya yang sudah sepuh, agar tidak pindah rumah setelah menikah. Semua kakaknya sudah punya keluarga dan tinggal terpisah, alhasil teman ini "diikat kakinya" agar tak beranjak kemanapun.

Banyak alasan, mengapa seorang anak tidak pergi dari rumah ayah dan ibunya meskipun sudah menikah. Tidak melulu  kemauan itu (tinggal di rumah orangtua) timbul murni dari si anak, tapi bisa jadi idenya dari orangtua setelah banyak pertimbangan dipikirkan.

Ada juga, teman istri yang anak tunggal, mengajak sang suami menetap dirumah ibunya yang cukup besar di perumahan menengah. Sang ayah yang sudah sepuh, merasa kehilangan kalau ditinggal anak perempuan kesayangan. Wah, kalau seperti ini enak juga kondisinya.

Entahlah, senang atau tidak, suami ini tinggal bersama mertua, toh kelak rumah ini, menjadi hak waris anak perempuan semata wayang.  Untuk kasus seperti ini, saya yakin antara menantu dan mertua saling menjaga sikap, karena yang menahan langkah si menantu adalah kemauan mertua.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri

Tapi bagaimana, kalau keputusan tinggal di rumah orangtua adalah inisiatif anak karena tidak ada pilihan, sementara masih ada saudara lain tinggal satu atap. Bagaimana kalau kehadiran anak dan menantu dianggap merepotkan, sehingga menimbulkan konflik baru yang terjadi berkepanjangan.

Tentu butuh usaha lebih besar (terutama menantu),  untuk penyesuaian dan menahan diri, agar situasi di rumah kondusif. Sebagai pendatang, sang menantu musti berbesar hati dan sabar, berjuang ekstra mengalahkan ego.

------

Mudik lebaran tahun ini, diwarnai pertemuan dengan sanak kerabat, bersua  saudara jauh dan saudara dekat, berjumpa teman semasa kecil, reunian dengan kawan SMP dan SMA.

Setelah sekian lama terpisah jarak dan ruang, aneka peristiwa dialami oleh setiap orang, dan pertemuan dengan teman lama seperti memberi ruang dan jeda untuk berbagi cerita dan mengisahkan pengalaman (baca curhat)

klikdokter.com
klikdokter.com

Seorang kawan disela mudik, bercerita 'terpaksa' balik kampung, setelah perantauan panjang yang jatuh dan jatuh lagi, hingga mengibarkan bendera putih (baca menyerah). Pulang dan menetap di kampung halaman, membawa serta istri dan anak yang masih kecil, memang bukan pilihan tepat, tetapi tidak ada alternatif lain.

Kawan ini adalah anak tengah, masih ada saudara lain tetapi kebetulan (termasuk adiknya yang bungsu) sudah berkeluarga dan tinggal terpencar di beberapa kota. Mengetahui anak yang sedang terpuruk, kedua orangtua membuka dua tangan, menyambut kembalinya si anak nelangsa.

Sebulan dua dan tiga bulan, kehidupan berjalan normal seperti biasa, tidak tampak gejolak yang terlalu berarti. Dua orangtua berkegiatan seperti biasa, sedang kawan ini belum punya kegiatan pasti, sementara sang istri membantu pekerjaan di dapur.

Masuk bulan keempat, mulai terjadi kerikil kerikil, konflik kecil bermunculan (terutama) antara ibu dengan anak lelaki dan ibu dengan menantunya berimbas kepada cucu. Sedang si ayah, relatif lebih bisa menahan dan mengontrol emosi, sesekali marah itupun kalau sudah kebangetan.

"Bukannya malas nyari kerja, aku butuh waktu, buat bangkit dan menyemangati diri" bela kawan ini.

"Jangan terlalu lama jugalah, ingat kamu bawa istri dan anak" tangkis saya

Tidak Selamanya Enak Tinggal di Rumah Mertua

Sepanjang mendengar curhatan, sebenarnya justru saya terselip salut pada istri kawan ini. sebagai menantu, ibu yang membawa anak balita (hampir lima tahun) menanggung beban lebih. Musti punya usaha ekstra, agar telinga kebal dengan segala ujaran baik yang menyindir atau terang-terangan, merelakan dirinya disalah-salahkan dan lebih menahan diri untuk tidak membalas.

shutterstock
shutterstock

Posisi istri yang sebagai pendatang, berada pada situasi serba salah dan tidak bebas membela diri. Alih-alih membuat keputusan, sekedar meluruskan masalah (bisa-bisa) akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan.

Sebagai menantu, musti menjaga perasaan mertua, perasaan saudara ipar (adik dan kakak dari suami), pandangan tetangga dan orang dekat. Belum lagi pandangan dari kakak adik sendiri (dari pihak si menantu), yang berseberangan pikiran dan pendapat.

Protes dan atau mengeluh bisa dilakukan, hanya kepada sang suami seorang, bisa jadi suami istri ini kerap berantem ketika rumah sedang sepi. Selebihnya, memilih diam seribu bahasa apalagi kepada mertua. Apa yang diucapkan mertua, suka tidak suka, benar atau salah akan ditelan. Di mana coba, enaknya tinggal di rumah mertua.

"Ayahku, meninggal dua tahun lalu" lanjut kawan ini lirih

Waktu berselang, karena tidak ada pilihan, kawan ini bertahan dan menetap di rumah orangtua apalagi setelah ayahnya meninggal. Untungnya, enam bulan setelah ayahanda berpulang, kawan ini bekerja sebagai tenaga rendahan di sebuah kantor swasta.

Sang istri yang tabah, membuka warung kecil-kecilan, berjualan sembako di pasar kampung. Dengan tertatih bertahan, si anak sekolah di Sekolah Dasar Negeri. Sungguh perjalanan yang tidak ringan, tetapi kalau dijalani setiap peristiwa mengalir menuju muaranya.

Selepas kepergiaan sang suami, ibu mertua sesekali sakit, karena tidak ada saudara lain serumah, maka sang menantu (yang kerap disalahkan) merawat. Rasanya drama panjang akan berlanjut, tentu butuh stamina lebih kuat untuk menjalani.

suasana rumah kontrakan- dokpri
suasana rumah kontrakan- dokpri

Kisah menantu dan mertua memang tak pernah ada habisnya, tinggal bagaimana bisa memetik hikmah dari setiap kejadian. Agar setiap peristiwa menjadi pembelajaran, berproses menjadi manusia yang lebih baik dan lebih baik lagi. Kalau ada yang bilang, "Enak ya tinggal di rumah mertua", saya pikir tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar, terngantung situasi dan kondisi setiap orang.

Mau tinggal bareng di rumah mertua, atau memilih tinggal di kontrakan, masing-masing ada resiko haris ditanggung, dan tidak bisa serta merta mengclaim bahwa tinggal terpisah dengan orangtua lebih tepat-- setiap kasus tidak berdiri sendiri.

"Sekarang kamu sudah kerja, istri juga punya warung, udah ditekuni saja" saya sok memberi nasehat ,"rawat ibumu sebaik-baiknya, kesempatan untuk berbakti."

Sebelum berpisah kami sama-sama berharap, lebaran tahun depan bisa kembali bertemu dan (jujur saja) saya pengin tahu kisah hubungan menantu dan mertua selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun