Bener nggak sih, sadar nggak sadar kita (kadang) suka yang me-ribet-kan diri (dengan berbagai alasan), mungkin sudah bawaan manusia yang suka tantangan kali ya. Misalnya pengin beli mobil, padahal lagi nggak ada duit, lalu dibela-belain mencari pinjaman. Pengin hangout dan nongkrong di cafe mihil (huruf 'a' sengaja diganti 'i' -- hehehe), tanpa  pikir panjang tinggal gesek kartu, padahal masih banyak kebutuhan lain menunggu.
Saya pernah dicurhati seorang temen di kantor lama, yang lagi bingung nyari pinjaman buat uang muka beli roda empat, sementara diwaktu berdekatan ada perlu uang untuk pendaftaran sekolah anak -- sungguh, saya sampai bingung jawab yang pas, waktu denger curhatan ini.
Masih curhatan dari teman yang sama di lain waktu, setelah mobil dibeli, beberapa bulan berikutnya pusing mikir bayar cicilan bulanan, padahal disaat yang sama musti bayar kontrakan rumah -- puyeng akibat ulah sendiri kan.
Semua keputusan diambil, ujungnya kita sendiri yang menanggung akibatnya, mau senang atau mau susah adalah buah dari perbuatan sendiri. Kan biar enak dilihat orang, kan untuk memantaskan diri, kan biar sama kayak temen di kantor, kan biar nggak malu-maluin kalau ngumpul teman, kan biar gengsi dan gak diremehin orang, kan, kan dan seterusnya.
Susah juga ya, kalau patokannya ada pandangan orang lain !
------
"Le. kamu jangan nyontoh ibu, dulu pas anak-anak masih sekolah ibuk banyak ngutang." Saya menjadi saksi hidup, semasa enam anak masih kecil dan bersekolah, orangtua kami pontang-panting mencari utangan. Gaji guru yang tidak seberapa, meskipun sudah dibantu membuka warung di pasar, tetaplah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kepahitan pernah dihadapi orangtua, memantik saya terpacu belajar mengelola uang dimiliki secermat mungkin, serta tidak memaksakan diri demi dilihat orang lain. Setelah saya bekerja dan kuliah, beruntung pernah satu kost  dengan teman yang cukup pintar dan berbagi tips manjur bagaimana mengelola keuangan.
Seratus ribu musti bisa mengcover sehari, yatu tiga kali makan, transportasi ke tempat kerja, jajan atau camilan dan keperluan lain. Kalau misalnya dalam sehari ternyata uang terpakai (misalnya) delapan puluh ribu, maka sisa duapuluh ribu dimasukkan amplop sebagai simpanan -- untuk uang jaga-jaga.
Misanyal, suatu hari ada ada keperluan membeli sepatu atau seragam wajib atau apalah (sementara gaji sudah dibagi 30 hari), bisa menggunakan uang simpanan. Teman kost juga berbagi siasat jitu lainnya, untuk menghemat lagi, dalam seminggu bisa puasa sunah senin kamis, aktif di kegiatan masjid atau RT, bersedia menjadi panitia pengajian atau kerja bakti RT, setidaknya bisa menghemat uang makan siang atau camilan.
Perlu diingat, kita juga bisa memanfaatkan kemampuan lain dimiliki untuk menambah pemasukan, misal yang hobi menulis atau nge-mc atau bernyanyi, sangat bisa dijadikan kebiasaan lebih dari sekedar hobi. Ketika saya coba praktekkan, dan nyata tips ini cukup manjur, selain menghindari hutang, setidaknya sejak punya penghasilan, saya tidak pernah sampai tidak punya uang sama sekali.
Mengatur keuangan termasuk gampang-gampang susah, tergantung kebiasaan setiap orang dalam mengaturnya. Biasanya dipengaruhi gaya hidup, lingkungan pergaulan, pola pikir dan kebiasaan keseharian setiap orang.
Benar atau tidak cara mengelola keuangan, tepat atau tidak teori mengaturnya, semua memang tidak mutlak, tetapi kalau ada keuntungan dirasakan, tidak ada salahnya diterapkan.
Mending Mudik #DibikiSimpel dan #AntiRibet  Saja !
Belakangan di timeline medsos sedang marak membahas mudik, selain pujian karena lancarnya jalanan menuju kampung halaman, juga kenaikan tarif Tol dan tiket pesawat. Okelah, saya tidak ingin membahas dan menambah keriuhan masalah ini, kebetulan lebaran tahun ini saya di rumah mertua di Tangsel.
Terakit pengelolaan pengeluaran (untuk mudik), saya jadi ingat teman satu kost yang pernah berbagi tips mengatur keuangan. Kalau (misalnya) kondisi keuangan sedang pas-pasan, saya kira tidak perlu malu pulang kampung dengan naik bus atau kereta ekonomi.
Pada keadaan tertentu, sebaiknya kita tidak terlalu dibuat pusing penilaian orang lain, apalagi pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti soal baju yang dipakai lebaran (baru atau tidak), soal makanan disajikan lengkap atau tidak, mudik dengan naik apa, bawaan apa saja perlu dibeli, dsb.
Mudik, sebenarnya bisa dibuat simpel dan anti ribet, asal kita bisa menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada, tidak perlu terpaku pada penilaian orang lain. Termasuk pengelolaan keuangan, kalau kita cermat dan tepat, niscaya bisa terhindar hutang, dan kalau ada uang tersimpan bisa segera diamankan.
Cara mengamankan uang, di era digital saat ini sangat mudah, membuka rekening di Bank cukup melalui smartphone, jadi tidak perlu pergi ke kantor cabang Bank. Caranya baca di : Sudah Nggak Zaman, Buka Rekening Musti Pergi ke Bank.
So, yang bikin mudik itu menjadi urusan ribet adalah diri kita sendiri, karena kita punya maksud, biar enak dilihat, biar nyaman dinilai dan dipandang saudara. sanak kerabat atau orang lain. Padahal, kalau ada repotnya di kemudian hari (akibat memaksakan diri), yang merasakan kita sendiri, orang lain tidak tahu menahu kan.
Kalau beban hidup dirasa berat, mending mudik #DibikinSimpel dan #Antiribet saja !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H