"Han, lebaran pulang kan?" terdengar suara ibu dari ujung telepon
"Enggih buk, anak-anak juga pengin lebaran di Kampung" balas Hanafi
Sependek ingatan Hanafi, pertanyaan yang sama, tak pernah jemu diucapkan ibu, mulai dari bungsunya kali pertama merantau sampai sekarang beranak-pinak.
Seperempat abad lebih di dunia perantauan, rasanya Hanafi cukup kenyang dengan aneka citarasa atau pengalaman pulang kampung. Dari yang mudik serba simpel dan praktis, mudik dengan rasa galau, berganti ekstra hati-hati, mudik super ribet dan sekarang mudik sudah biasa saja.
---
Mudik Simpel dan Praktis, dialami Hanafi sewaktu masih bujang dan sudah berpenghasilan, urusan mudik persis seperti pagi hari berangkat kerja dari Ciledug pergi ke daerah Cilincing. Tanpa persiapan khusus (alias persiapan sekedarnya), mudik kala bujangan, berangkat malam di hari terakhir puasa Ramadan (sepanjang jalan berpapasan dengan rombongan takbir keliling).
Lelaki usia awal duapuluh tahun-an dengan memanggul ransel melesat ke Terminal Purbaya Surabaya, berebut kursi bus dengan calon penumpang lain. Deretan bus Jurusan Solo mengular panjang, membuat tubuh langsing Hanafi yang gesit, cukup mudah untuk mendapatkan satu kursi (untuk dirinya sendiri).
Kalau tidak kebagian bus patas AC, bus ekonomi non AC juga tidak masalah, jendela kecil bagian atas, oleh crew bus dibiarkan terbuka, semilir udara dingin di luar menetralisir panas di dalam bus. Kebiasaan Hanafi jogging setiap akhir pekan, membuat badan yang masih muda, terbilang kuat dan segar, sehingga tidak gampang kecapekan apalagi masuk angin.
"Mas, nitip kursi dua ya, saya mau ambil barang sekalian panggil anak istri dulu" ujar seorang bapak.
Sampai terminal tujuan (Maospati), biasanya setengah jam sebelum adzan subuh, sementara bus kecil menuju kampung Hanafi, tersedia selepas sholat ditunaikan.Â
Sebelum naik Bus, tak lupa Hanafi mampir ke pasar di dekat terminal, membeli buah tangan untuk orangtua -- biasanya kue lebaran. Tak lupa, Hanafi juga menyiapkan bingkisan lebaran, berupa barang (misal mukena atau sarung) untuk kedua orangtua.
Baca : Mukena Spesial, Bingkisan Lebaran yang Pertama untuk Ibunda
"Matur suwun le, Kamu bisa pulang saja, sudah lebih dari cukup" ujar ibu
Bingkisan yang tidak seberapa dibawa anak muda itu, nanti akan diganti berlebih oleh sang ibu, ketika Hanafi kembali ke tempat merantau, Kardus bertuliskan produk air mineral diikat rapi jali dengan tali rafia, toples berisi kue khas kampung, beberapa kotak abon sapi, sambal kacang dan makanan awet lainnya memenuhi dalam kardus.
Lumayan, sebagai anak kost, bawaan dari ibu saat balik ke kota, ternyata sangat bisa menghemat pengeluaran, setidaknya sampai satu bulan kedepan. Tinggal membeli nasi putih (tanpa lauk), ditambah sayur seperlunya.Â
-----
Mudik Galau, juga pernah dirasakan Hanafi, ketika awal merantau di Ibukota, kala itu bujangan ini justru menawarkan diri kerja lembur saat lebaran.
Masa-masa penuh keengganan pulang kampung bertepatan dengan hari raya, sempat maju mudur antara mudik dan tetap di tanah rantau.
Baca Kisahnya : Â Maaf Ibu, Bukannya Aku Tidak Mau Mudik !Â
Sang ibu yang biasanya keras, cukup mengerti alasan keengganan itu, sampai akhirnya muasal keengganan itu terjawab sudah pada....
Awal 2000-an, memasuki paruh pertama abad 21, rupanya jawaban atas doa-doa itu tiba juga, Hanafi tidak lagi mudik sendirian, berkat kesabaran dan tutup telinga rapat-rapat, akhirnya mempersunting gadis idaman.Â
Mudik lebaran yang pertama bersama istri, kala itu istri sedang hamil enam bulan anak pertama, (sebelumnya pernah pulang kampung saat resepsi pernikahan). Sepanjang perjalanan mudik, perut buncit berisi janin dielus-elus agar jabang bayi di rahim merasa nyaman.Â
Pulang kampung tak lagi sesimple waktu bujang (tinggal angkat ransel dan ke terminal), musti dipersiapkan tiga bulan sebelum keberangkat. Budget dipersiapkan dan diatur sedemikian rupa, agar pengeluaran tidak menganggu arus kas atau keluar masuk belanja rumah tangga, jangan sampai kebobolan apalagi melebihi pemasukan.
Tahun berikutnya, ketika mudik dengan membawa anak usia batita, ternyata tidak kalah ribetnya, karena musti menyiapkan satu koper khusus untuk keperluan bayi. Â Pernah satu malam di kereta, saat Hanafi tidur sambil memangku si kecil, tiba-tiba celananya basah, diapers dipakai anak kepenuhan dan pipispun merembes.
Pernah beberapa menit sebelum kereta datang, buah hati musti dicebokin karena buang air besar, maka segera ke kamar mandi stasiun lengkap dengan perangkat tempur (bedak, minyak telon, popok yang baru dsb)
Satu pengalaman tidak dilupakan Hanafi dan istri, ketika mudik dengan anak umur dua tahun, dan membeli tiket kereta untuk dua kursi. Demi si anak bisa tidur nyenyak, pasangan muda rela duduk di lantai kereta menghadap dudukan kursi, dijadikan tempat tidur buah hati.
Perjalanan kereta di malam hari, saat Hanafi dan istri terlelap, si anak yang tidur di kursi kereta terguling dan jatuh, untungnya menimpa pangkuan kedua orangtuanya. Meningat kejadian itu, membuat pasangan ini senyum sendiri.
Kalau sedang ada rejeki berlebih, Hanafi tak segan mengajak anak- istri mudik dengan moda transportasi udara. Hanafi merasakan, kesenangan tergambar di wajah sumringah buah hati dan belahan jiwa.
Kini setelah si sulung mulai baligh dan adiknya hampir sembilan tahun, mudik sudah tak seribet saat anak-anak masih kecil. Namun keseruan tetaplah ada, hanya dari sudut pandang yang berbeda.
------
Dari pulang kampung ke pulang kampung, Hanafi merenungi tentang perjalanan hidup telah ditempuh. Budaya mudik adalah gerakan massal, bahkan menggerakkan semua sektor kehidupan.
Harga tiket transportasi melonjak, karena  permintaan konsumen cukup tinggi, kebutuhan bahan pokok meningkat. Permintaan kendaraan, baik sewa, mobil bekas atau baru, barang elektronik, gadget, pulsa celuller, tempat hiburan dan wisata semua diburu oleh konsumen.
Setiap orang, ingin tampil lebih, berusaha memantaskan diri di hadapan sanak saudara, meski kadang ada yang memaknai lain lebih dari sekedar bersilaturahmi.
Satu hal yang tidak pernah berubah, adalah senyum tulus di bibir kedua orangtua, dan pertanyaan yang sampai sekarang tak jemu diucapkan ,"Han, Lebaran ini pulang kan?"Â
Kini setelah ayanda berpulang, ibu adalah tumpuan Hanafi dan kelima kakak-kakaknya. Sampai berkeluarga, Hanafi selalu berusaha, membawa persembahan sebagai tanda bakti, pengabdian dan rasa sayang. Meski sungguh, apapun yang dipersembahkan anak-anak, tidak akan pernah sanggup membalas kasih dicurahkan kedua orangtua.
"Matur suwun le, Kamu bisa pulang saja, sudah lebih dari cukup" ujar ibu, dengan suara parau.
Satu lagi, kalimat terima kasih seperti ini, rasanya hanya didengar Hanafi dari mulut ibu. Membuat haru membucah, menyaksikan senyum terkembang.
Bagi Hanafi, mudik lebih dari sekedar bersua dengan orangtua atau handai taulan. Mudik ibarat perjalanan kehidupan, sejauh kaki melangkah akan kembali ke muasal. Kampung halaman adalah tanah tanah tumpah darah, menghadirkan kekangenan masa lalu, yang menuntut pemiliknya untuk menjenguk meski sesaat.
Pulang Kampung adalah cerminan sekaligus pengingat, bahwa suatu saat setiap kita akan pulang ke kampung yang sebenarnya. Yaitu kampung abadi tempat manusia berasal, kampung kekal bebas dari segala serba kefanaan.
Dari setiap pulang kampung ke pulang kampung, Hanafi berusaha menghadirkan benefit kebaruan, akan esensi kehidupan. Bahwa kita semua sedang berjajar panjang, menunggu disebutkan nama, sampai saatnya "Pulang."
"Han, Lebaran Pulang Kan," intonasi suara sepuh ibu, terdengar di ujung telepon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H