Baca Kisahnya : Â Maaf Ibu, Bukannya Aku Tidak Mau Mudik !Â
Sang ibu yang biasanya keras, cukup mengerti alasan keengganan itu, sampai akhirnya muasal keengganan itu terjawab sudah pada....
Awal 2000-an, memasuki paruh pertama abad 21, rupanya jawaban atas doa-doa itu tiba juga, Hanafi tidak lagi mudik sendirian, berkat kesabaran dan tutup telinga rapat-rapat, akhirnya mempersunting gadis idaman.Â
Mudik lebaran yang pertama bersama istri, kala itu istri sedang hamil enam bulan anak pertama, (sebelumnya pernah pulang kampung saat resepsi pernikahan). Sepanjang perjalanan mudik, perut buncit berisi janin dielus-elus agar jabang bayi di rahim merasa nyaman.Â
Pulang kampung tak lagi sesimple waktu bujang (tinggal angkat ransel dan ke terminal), musti dipersiapkan tiga bulan sebelum keberangkat. Budget dipersiapkan dan diatur sedemikian rupa, agar pengeluaran tidak menganggu arus kas atau keluar masuk belanja rumah tangga, jangan sampai kebobolan apalagi melebihi pemasukan.
Tahun berikutnya, ketika mudik dengan membawa anak usia batita, ternyata tidak kalah ribetnya, karena musti menyiapkan satu koper khusus untuk keperluan bayi. Â Pernah satu malam di kereta, saat Hanafi tidur sambil memangku si kecil, tiba-tiba celananya basah, diapers dipakai anak kepenuhan dan pipispun merembes.
Pernah beberapa menit sebelum kereta datang, buah hati musti dicebokin karena buang air besar, maka segera ke kamar mandi stasiun lengkap dengan perangkat tempur (bedak, minyak telon, popok yang baru dsb)
Satu pengalaman tidak dilupakan Hanafi dan istri, ketika mudik dengan anak umur dua tahun, dan membeli tiket kereta untuk dua kursi. Demi si anak bisa tidur nyenyak, pasangan muda rela duduk di lantai kereta menghadap dudukan kursi, dijadikan tempat tidur buah hati.
Perjalanan kereta di malam hari, saat Hanafi dan istri terlelap, si anak yang tidur di kursi kereta terguling dan jatuh, untungnya menimpa pangkuan kedua orangtuanya. Meningat kejadian itu, membuat pasangan ini senyum sendiri.