Tapi kalau ibu sedang kangen, biasanya saya siasati mudik sendirian sebelum puasa. Seperti pada puasa dua tahun lalu, saya mudik bareng si sulung tiga hari sebelum Ramadan tiba. Pulang ke tempat lahir, yang sudah saya tinggalkan seperempat abad lebih.
Setiap pulang, saya tidak begitu merasakan perubahan yang mencolok terjadi, saya perhatikan beberapa bangunan kantor, seperti kecamatan, kelurahan, puskesmas, ya begitu begitu saja. Justru perubahan cukup mencolok terjadi, adalah sawah dekat sungai tempat saya main dulu, kini menjelma menjadi ilalang dan tidak terurus.
"Anak-anaknya pada ke kota, sawahnya tidak ada yang mau ngerjain," ujar ibu.
Bagi saya, pulang kampung adalah kesempatan berkangen-kangenan dengan dunia kecil, dengan orang-orang yang pernah hadir dan menyapa. Pulang kampung, adalah saatnya kembali ke akar dan menengok muasal, persis seperti kehidupan di dunia ini, kelak kita pulang ke kampung akhirat.
"Sana, ikut megengan ke musholla" ujar ibu suatu sore.
Menu besekan relatif tidak berubah, menurut para tetua, yang kudu ada  (selain nasi) serundeng, lodeh kentang, mie goreng, kerupuk udang dan peyek, ditambah apem dan pisang matang. Tapi kalau mau ditambahi lauk yang lain, seperti telur, ayam, daging dan sebagainya boleh saja.
Dan yang tidak boleh ketinggalan adalah Kancing, atau uang yang dimasukkan amplop untuk dimasukkan ke kotak amal musholla. Besaran kancing bebas tidak mengikat, biasanya dikisaran angka lima ribu sampai sepuluh ribu, nanti uang terkumpul untuk bersih-bersih mushola (ngecat tembok)
Saya yang mengalami dua versi megengan, tetap merasakan esensi yang sama, yaitu ingin bebersih diri dan kirim doa ke leluhur sebelum bulan suci. Semoga saja, tradisi megengan terus berlangsung di desa kecil saya, sebagai obat kangen kalau pulang kampung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI