Dan akhirnya benar juga, apa yang dikawatirkan ayah kejadian. Keesokan hari, sebagian besar makanan yang dimasak dengan susah payah, berubah menjadi bau dan terpaksa dibuang. Hanya nasi bisa diselamatkan dengan cara dijemur, untuk dibuat krupuk (di desa saya namanya) lempeng.
"Bener tho, Eman-eman (sayang), kan" ayah mengulangi gerutuannya, raut di wajahnya mengandung seribu makna.
Sebenarnya Ayah, Â orang yang (diam-diam) menentang kebiasaan nenek (dari garis ibu, berarti mertuanya) saya, khususnya soal megengan ala orang lama. Â Selain selametan, Nenek terbiasa menyediakan sesajen, yaitu aneka makanan di tata di piring dan tidak boleh dimakan siapapun karena sebagai persembahan leluhur.
Bayangkan, kemana larinya makanan yang dijadikan sesajen itu, tidak lain dan tidak bukan, keesokan harinya (lagi-lagi) dibuang, karena sudah masuk puasa. "Eman-eman banget kan bu" ayah menahan diri, untuk protes pada sang mertua.
----
Tahun 2000-an, Ganjelan, tentang kebiasan menghamburkan makanan saat megengan, ternyata juga dirasakan oleh sebagaian besar tetangga. Ayah yang kala itu menjadi ketua RT, didatangi seorang ibu yang menuturkan keberatannya, mengapa megengan musti dari satu rumah ke rumah lainnya.
"Eman-eman Pak, nasinya dibuang-buang" ujar ibu tetangga.
Di desa kecil seperti saya, pasti tidak bisa menghilangkan tradisi leluhur yang sudah mengakar, alih-alih didukung warga, malah kawatir akan kualat. Akhirnya dicari jalan tengah, yaitu megengan tetap ada, tetapi diadakan di mushola terdekat, dan setiap orang cukup membawa satu atau dua nasi kotak saja.
Solusi yang terbilang keren dan bijaksana ini, ternyata mendapat respon positif dan didukung oleh sebagian besar warga. Sejak saat itu, setiap megengan, setiap rumah tidak repot berbenah diri dan tidak perlu masak banyak, menyiapkan sekian puluh kotak (padahal keesokan hari dibuang). Tapi cukup menyediakan satu dua kotak, sepulang megengan di mushola, akan bertukar bawaan dengan bawaan milik orang lain.
---