Belakangan, mulai ramai orang menggelar hajatan pernikahan, baik diadakan di gedung atau di kampung, baik menyewa hotel mewah atau cukup rumah. Semua sih sama saja, namanya penikahan intinya hanya satu, yaitu agar mempelai menjadi pasangan suami istri yang syah.
Setiap acara yang mengundang orang banyak, tidak bisa dihindarkan adalah menyajikan menu, tuan rumah berusaha mempersembahkan yang terbaik. Makanan (bisa dikategorikan) menyangkut harga diri, kalau disuguhkan sekedarnya saja, bisa dibatin tamu yang sudah jauh-jauh datang.
"Gak Menghormati tamu", "Ini yang punya hajat, pelit banget ya", "Masak, tamu belum habis, makanan sudah tandas". Begitulah omongan berseliweran, kadang membuat tuan rumah merasa tidak nyaman, sehingga tidak mau ambil resiko penilaian orang.
Demi memantaskan diri, pengundang (biasanya) rela menyediakan aneka menu dalam jumlah dua kali lipat undangan yang disebar. Menu dipilih juga yang istimewa, makanan utama dengan daging berkualitas dan diperhatikan makanan pendukungnya, tak lupa makanan pembuka dan disediakan penutup.
Logikanya memang benar, satu undangan (umumnya) terdiri dari suami istri dan mengajak serta anak masih kecil -- satu undangan untuk dua dewasa satu anak.
Pikir pengundang, daripada kekurangan makanan beresiko menanggung malu, lebih baik berlebih dan akan lebih mudah mencari orang untuk menghabiskan.
Sungguh saya prihatin dan miris, melihat makanan enak dan mahal, ditelantarkan di sana sini, bahkan ada yang baru dicolek sedikit sekilas tampak utuh. Daging belum juga separuh tersentuh, soup masih setengah mangkok ditinggal begitu saja, daging ayam masih nempel tulang baru satu gigitan.
Duh, piring-piring ukuran jumbo itu berserakan, padahal belum juga tandas makanan di atasnya, mau tidak mau sajian separuh dimakan terpaksa dianggap sampah. Gelas-gelas berdetingan, mangkok ngumpet di bawah meja, piring buah bertengger di dudukan kursi, sendok dan garpu lintang pukang,
Sayang banget ya, padahal di luaran sana masih banyak sekali orang tidak makan, sementara di tempat hajatan makanan malah dibuang-buang tanpa rasa sayang. Begitulah dampak dari konsep prasamanan, orang cenderung tidak pikir panjang, bebas mengambil makanan apapun sesuka hati.
Namanya juga manusia, lebih sering tidak bisa mengontrol nafsu, apabila dihadapannya dihamparkan makanan berlimpah ruah dan gratis pula. Saya yakin, orang yang mengambil makanan dengan nafsu berlebih, biasanya tidak terlalu aware dengan cita rasa makanan.
Tidak dicicip dulu sedikit sebelum mengambil, tapi langsung saja menyendok sesuka hati, yang penting kelihatan enak dan menarik perhatian. Maka jangan heran, seenak apapun makanan, meskipun di piring belum selesai dihabiskan, sudah kepikiran makanan lain dan akhirnya mengambil yang baru.
Alhasil perut kekenyangan, pulang dalam keadaan bega, bagian pingang tidak lagi muat ukuran lubang gesper yang biasanya dipakai. Berjalan susah karena lambung sedang menampung, mata diserang kantuk, akhirnya tertidur pada saat makanan belum selesai digiling pencernaan. Kebiasaan seperti Ini kalau keterusan, bisa menjadi muasal terjadinya kegemukan, kalau hal yang sama diteruskan bisa-bisa obesitas.
"Apa Bisa, tetap makan tapi berat badan terjaga?"Â Jawabnya sangat bisa. Metode ini saya dapati, ketika menghadiri kelas bersama ahli nutrisi dari sebuah klinik kesehatan.
Metode ini bisa diterapkan siapapun di manapun, adalah "mindfull eating" atau (bisa diartikan) makan dengan sepenuh hati (melibatkan seluruh indra). Caranya sangat sederhana, cukup meluangkan waktu khusus untuk makan, hadirkan pikiran dan perasaan pada kegiatan (makan) yang sedang dijalani.
Ambil makanan secukupnya di atas pirang, kemudian sendok dan pada saat mengambil perhatikan apa saja yang hendak kita masukkan ke dalam mulut (kita tahu apa yang sedang di makan). Lalu suapkan ke mulut dengan perlahan, rasakan dan kunyah dengan santai, nikmatilah saat mengunyah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Rasakan cita rasa makanan tersebut di atas lidah, rasakan manisnya, asamnya, asinnya, gurihnya, semua rasa itu jelajahi satu persatu dengan kesungguhan. Kunyahlah makanan dengan pelan-pelan, nikmati butiran demi butiran nasi, telusuri suwiran daging yang lembut, pedas pada biji cabe dan rasakan tekstur makanan tersebut.
Saat menelan nikmatikah, makanan yang sudah dihaluskan gigi dan bercampur enzim di lidah, telah berpindah ke lambung. Resapi dan rasakan nikmatnya, bagaimana lambung siap menerima makanan yang telah dihaluskan untuk siap digiling pencernaan.
Biasanya nih, zat zat makanan yang bersarang di perut, seketika kita akan merasakan energinya ditandai dengan menyembulnya titik embun di pori-pori tubuh kita, bisa juga diikuti sendawa-- lega rasanya. Tahan dulu, jangan langsung menyendok makanan (yang baru) lagi, tetapi nikmati proses yang tengah berlangsung dalam tubuh kita.
Saya yakin, kalau cara makan ini dipraktekkan dengan berkelanjutan, niscaya kita ambil makanan secukupnya, dan kenikmatan makan akan bisa dirasakan. Makan dengan sepenuh hati, membuat prosesi makan menjadi menyenangkan, dan yang pasti mampu menjaga berat badan tubuh tetap ideal.
Saya jadi ingat, petuah sekaligus teladan Rasulullah SAW kepada umatnya, untuk makan setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Konon, dari kebiasaan makan yang diterapkanm baginda Nabi memiliki perawakan yang proporsional dan ideal.
Saya sendiri, masih belajar untuk mempraktekkan mindfull eating, terus berusaha menjaga komitmen demi badan yang sehat dan segar.
- Semoga bermanfaat.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H