------
Sebagai blogger (atau freelance), saya pernah mendapat  tawaran pekerjaan seperti job review, buzzer, endoser dan pekerjaan lain terkait dengan dunia tulis menulis. Pekerjaan ada yang diberikan secara lisan (biasanya karena faktor pertemanan dan kenal baik), ada dengan disertakan selembar MOU (berisi nama, alamat, hak kewajian dua pihak)
Tapi ada juga, sampai dibuatkan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), sekira tiga empat lembar, berisi pasal-pasal dan lebih detil dibanding MOU yang hanya selembar.
Sebagai orang awam hukum, kemudian atas dasar kepercayaan (bisa jadi karena kenal) saya ikuti mekanisme ditetapkan pemberi kerja -- alhamdulillah, lebih banyak lancar sampai pembayaran.
Pernah juga, saya mengalami kejadian tidak mengenakkan. Kala itu belum ada MOU (karena orang memberi pekerjaan sudah kenal), saya menunaikan pekerjaan ditawarkan.
Setelah selesai dengan pekerjaan, tinggal menunggu approval, tiba-tiba perjanjian dihentikan sepihak dan saya tidak punya pegangan untuk menggugat.
Tidak ada pilihan lain, kecuali berbesar hati dan menghibur diri, bahwa pekerjaan tersebut memang belum rejeki dan yakin akan ada ganti yang lebih baik -- mendadak religius gitu deh, hehehe.
Kesal dong? Ya pastilah, perasaan tersebut sangat manusiawi. Kejadian ini menjadi pelajaran bagi saya, bahwa penting ada perjanjian hitam di atas putih, sebelum pekerjaan dijalankan.
Hal ini (perjanjian) bisa mengamankan para pihak, agar punya pegangan dan bisa menuntut apabila ada wanprestasi atas kesepakatan dibuat.
Yuk, Mengenal Kontrak untuk Freelance
Berkaca pada kejadian memilukan saya alami, tidak ada salahnya kita melek hukum, meskipun tidak ahli banget, setidaknya mengetahui hal hal paling mendasar.